UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 13 & 14 kepolisian wajib bertindak profesional, proporsional, dan menghormati HAM.
Dengan demikian, tindakan Brimob yang mengendarai kendaraan secara ugal-ugalan hingga menewaskan warga sipil jelas merupakan excessive use of force. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi pelanggaran hukum berlapis yang harus ditindak tegas.
Seharusnya, Polri tidak berhenti pada sanksi kode etik, tetapi mengambil langkah tegas berupa pemecatan dan proses pidana bagi pelaku. Transparansi penanganan kasus juga penting demi mengembalikan kepercayaan publik.
3. Blunder DPR dan Lemahnya Komunikasi Publik
Permasalahan ini tidak hanya lahir dari aparat keamanan, tetapi juga dipicu oleh blunder komunikasi DPR.
Pidato kenegaraan pada 15 Agustus 2025 yang ditutup dengan joget-joget anggota DPR menimbulkan citra buruk di tengah kondisi rakyat yang sedang sulit.
Isu kenaikan gaji dan tunjangan fantastis menimbulkan kecaman publik.
Respons sejumlah anggota DPR yang menyebut rakyat "tolol" atau mengeluh gajinya tidak cukup, justru memperkeruh suasana.
Minimnya empati dan komunikasi publik memperlihatkan bahwa DPR gagal memahami psikologi sosial masyarakat. Padahal, sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR seharusnya merespons polemik dengan data, transparansi, dan sikap rendah hati, bukan dengan arogansi.
Akibat lemahnya komunikasi politik ini, isu ekonomi berubah menjadi isu ketidakpercayaan terhadap DPR. Rakyat tidak hanya menolak kenaikan gaji, tetapi mulai menyerukan pembubaran DPR.
4. Dampak Luas : Kerusuhan dan Ancaman Demokrasi