Bagaimana Semua ini bermula ?
Gelombang keresahan publik terhadap lembaga legislatif Indonesia memuncak pasca Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR dan DPD pada 15 Agustus 2025 di Gedung MPR/DPR, Jakarta. Acara resmi yang menampilkan pidato Presiden RI itu justru ditutup dengan pemandangan yang mengundang kontroversi: sejumlah anggota dewan berjoget riang di tengah ruang sidang. Tayangan tersebut, yang sempat tersiar langsung melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada menit ke-2:50:39, segera viral di media sosial dan menjadi simbol kontrasnya jarak antara elite politik dengan penderitaan rakyat.
Selang beberapa hari, publik kembali diguncang oleh isu kenaikan gaji dan tunjangan DPR yang nilainya dinilai tidak masuk akal. Beredar kabar bahwa penghasilan anggota dewan mencapai Rp100 juta per bulan, bahkan ada klaim Rp3 juta per hari, di luar tunjangan fantastis seperti tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, tunjangan kehormatan, hingga tunjangan beras. Informasi ini memicu gelombang kritik keras: rakyat menilai DPR gagal menjalankan amanah, justru memperkaya diri di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Situasi kian memanas ketika beberapa anggota dewan memberikan pernyataan yang dianggap melecehkan publik. Ada yang menilai gaji dewan masih belum cukup, ada pula yang menyebut tunjangan rumah mutlak diperlukan karena alasan kemacetan, bahkan tak jarang muncul ungkapan yang menuding rakyat "tolol" karena menyerukan pembubaran DPR. Pernyataan resmi Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, yang mengakui adanya tunjangan rumah Rp50 juta per bulan sejak Oktober 2024 hingga Oktober 2025, semakin mempertebal kekecewaan masyarakat.
Akumulasi kekecewaan ini akhirnya menjelma menjadi aksi nyata. Sejak 25 Agustus 2025, berbagai seruan demonstrasi menyeruak melalui media sosial dan forum publik. Ribuan massa aksi dari berbagai elemen mahasiswa, buruh, komunitas pekerja, hingga kelompok informal berkumpul di depan gedung DPR untuk menyuarakan penolakan terhadap kenaikan gaji dan tunjangan DPR. Namun, puncak ketegangan terjadi pada 28 Agustus 2025. Bentrokan antara aparat keamanan dan massa tidak terhindarkan, diperburuk oleh adanya provokasi di lapangan.
Tragedi memilukan pun terjadi di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sebuah kendaraan taktis Brimob yang dikerahkan untuk membubarkan massa justru melaju ugal-ugalan dan menabrak seorang pengemudi ojek online, Afan Kurniawan (21 tahun), hingga tewas terlindas. Kesaksian warga bernama Abdul (29 tahun) menyebut mobil tersebut seolah sengaja "menghajar siapa saja yang ada di depannya". Alih-alih meredam kerusuhan, insiden ini memantik kemarahan yang lebih besar.
Sejak keesokan harinya, 29 Agustus 2025, demonstrasi semakin meluas ke berbagai kota besar: Jakarta, Bandung, Solo, Kediri, Makassar, hingga Sumatera Selatan. Beberapa aksi berujung pada kerusuhan, bahkan di Makassar terjadi insiden serupa yang menimbulkan korban jiwa dan pembakaran gedung DPRD. Dari tuntutan menolak kenaikan gaji DPR, kini desakan publik merambah pada tuntutan akuntabilitas aparat kepolisian dan Brimob. Tragedi ini menjadi cermin kelam bagaimana jarak antara rakyat, wakilnya, dan aparat penegak hukum semakin menganga.
Kupas tuntas penyebab & pelanggaran dalam tragediÂ
tersebut terdapat sejumlah hal yang perlu dipandang secara kritis. Berdasarkan analisis saya terhadap informasi kronologi dari berbagai sumber, terlihat adanya permasalahan serius dalam penanganan situasi oleh perusahaan maupun aparat. Kondisi ini kemudian memicu kerusuhan besar yang berujung pada jatuhnya korban jiwa dalam bentrokan antara massa demonstrasi dan aparat keamanan.
1. Lengahnya Aparat dalam Pengendalian Massa