Mohon tunggu...
khaishyadmutiarani
khaishyadmutiarani Mohon Tunggu... Mahasiswa Statistika Universitas Bina Bangsa

Mahasiswa Statistika yang gemar menulis dan menganalisis cerita dari berbagai sudut pandang. Tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa, aktif mengeksplorasi dunia literasi, data, dan realitas sosial. Menyukai sastra, anime, serta diskusi mendalam tentang kehidupan. Menulis bukan sekadar hobi, tapi cara untuk memahami dunia dan membagikan perspektif baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Tapi Bukan Untuk Rakyat

24 Maret 2025   16:35 Diperbarui: 2 April 2025   14:03 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Angin malam menyusup lewat celah-celah dinding bambu yang mulai lapuk dihempas waktu. Rumahku, yang lebih mirip kandang daripada tempat tinggal, berdiri di pinggiran Sungai Lembayung  yang dulu jernih, kini hitam pekat oleh limbah para bangsawan yang sibuk mengisi kantong mereka dengan emas. 

Di luar sana, Kerajaan Dwipantara masih terjaga di bawah sinar dua bulan yang menggantung muram. Tapi di rumah kami, semuanya terasa mati.

Aku menarik selimut, tipis. Lebih cocok disebut kain perca. Di ranjang sebelah, ibu duduk diam, meremas kain lusuh di pangkuannya. Tangisnya terdengar samar, seolah takut mengusik dinding rumah kami yang rapuh. Aku pura-pura tidur, tapi aku tahu, ibu menangis karena alasan yang sama setiap malam.

Kemiskinan.

Kemiskinan yang tak kunjung lepas dari leher kami.

Dulu, ayah adalah pengrajin perhiasan di distrik emas. Jemarinya menciptakan mahakarya untuk para bangsawan. Tapi segalanya berubah sejak Raja Prasandaka mengeluarkan Dekrit Langit Terbuka. Sebuah kebijakan yang katanya untuk “kesejahteraan rakyat,” padahal hanya alasan untuk merampas tanah, tambang, dan usaha kecil.

Ayah kehilangan pekerjaannya. Dari seorang pengrajin terhormat, ia berubah menjadi buruh tambang. Kerja rodi, upah ditahan, hak tak pernah ada. Hingga akhirnya, suatu hari, ia tidak pulang.

Tiga hari kemudian, tubuhnya ditemukan kaku di bawah jembatan tua. Tangannya masih menggenggam sekeping koin tembaga, mungkin upah terakhirnya.

Mereka bilang bunuh diri.

Ibuku bilang kecelakaan.

Aku bilang pembunuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun