Angin malam menyusup lewat celah-celah dinding bambu yang mulai lapuk dihempas waktu. Rumahku, yang lebih mirip kandang daripada tempat tinggal, berdiri di pinggiran Sungai Lembayung yang dulu jernih, kini hitam pekat oleh limbah para bangsawan yang sibuk mengisi kantong mereka dengan emas.
Di luar sana, Kerajaan Dwipantara masih terjaga di bawah sinar dua bulan yang menggantung muram. Tapi di rumah kami, semuanya terasa mati.
Aku menarik selimut, tipis. Lebih cocok disebut kain perca. Di ranjang sebelah, ibu duduk diam, meremas kain lusuh di pangkuannya. Tangisnya terdengar samar, seolah takut mengusik dinding rumah kami yang rapuh. Aku pura-pura tidur, tapi aku tahu, ibu menangis karena alasan yang sama setiap malam.
Kemiskinan.
Kemiskinan yang tak kunjung lepas dari leher kami.
Dulu, ayah adalah pengrajin perhiasan di distrik emas. Jemarinya menciptakan mahakarya untuk para bangsawan. Tapi segalanya berubah sejak Raja Prasandaka mengeluarkan Dekrit Langit Terbuka. Sebuah kebijakan yang katanya untuk “kesejahteraan rakyat,” padahal hanya alasan untuk merampas tanah, tambang, dan usaha kecil.
Ayah kehilangan pekerjaannya. Dari seorang pengrajin terhormat, ia berubah menjadi buruh tambang. Kerja rodi, upah ditahan, hak tak pernah ada. Hingga akhirnya, suatu hari, ia tidak pulang.
Tiga hari kemudian, tubuhnya ditemukan kaku di bawah jembatan tua. Tangannya masih menggenggam sekeping koin tembaga, mungkin upah terakhirnya.
Mereka bilang bunuh diri.
Ibuku bilang kecelakaan.
Aku bilang pembunuhan.