Mohon tunggu...
Pinku Queeny
Pinku Queeny Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga

Hai, aku lagi belajar nulis dan ini blog pertamaku. Aku akan senang jika teman-teman berkenan memberikan komentar sebagai kritik dan saran nya terhadap tulisan ku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sampah dan Mimpi Besarnya

28 Agustus 2025   14:25 Diperbarui: 10 September 2025   00:42 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: ilustrasi AI, dibuat melalui chatGPT 

Di tengah teriknya matahari siang itu, terlihat seorang anak kecil mengenakan seragam SD, lengkap dengan tas dan sepatu hitamnya. Penampilannya terlihat rapi dan bersih. Tapi anehnya, dia membawa sebuah karung  besar yang terlihat hampir penuh. Entah apa yang ada di dalamnya.

Karena penasaran, kulambatkan laju mobil hingga jarakku makin dekat dengan anak itu. Ternyata dia mengumpulkan botol bekas. Tapi tidak hanya itu, dia juga mengambil semua 'sampah' yang terlihat. Aku merasa iba ketika melihatnya berjalan menyusuri trotoar dengan wajah menyeringai karena panasnya sang mentari.

"Hei, Nak, di mana rumahmu? Mari Om antarkan!"

"Tidak perlu Om, terimakasih. Di tikungan depan sekitar 50 meter lagi itu rumahku, sudah dekat kok."

Terlihat raut wajah yang sedikit ketakutan dari anak itu. Tentu saja sangat wajar, mengingat aku orang asing bagi dia, yang tiba-tiba menawarkan tumpangan.

Rasa penasaranku sedikitpun belum terjawab. Penampilan anak itu terlihat rapi dan bersih, tentu tidak menggambarkan kemiskinan. Tapi kenapa dia mulung?

***

Di jalanan yang sama seperti waktu sebelumnya, aku kembali melihat anak SD yang membuatku penasaran itu. Tanpa berpikir lama, aku langsung berhenti dan turun dari mobilku dan ku parkirkan di tepi jalan.

"Hei, nak, tunggu!"

Aku sedikit berteriak dan berlari kecil menuju arahnya.

Merasa ada yang memanggil, anak tersebut menoleh dan menyapu pandangan sekitar mencari sumber suara.

"Hei, nak, masih ingat aku?" Dengan nafas yang sedikit terengah.

"Maaf, siapa ya Om?" tanyanya heran.

Tentu, tidak mungkin dia mengingatnya.

"Ah sudah lah, kamu pasti tidak ingat. Oh ya ada yang ingin Om tanyakan sama kamu, boleh minta waktunya sebentar?"

"Maaf Om, tapi aku harus segera pulang," jelasnya.

"Baiklah, rumahmu 50 meter setelah persimpangan depan itu kan?"

"Benar, Om tahu dari mana?"

"Om tahu dari kamu, begini saja, supaya kamu tidak merasa takut kalau Om ini akan culik kamu. Om akan ikutin kamu dari belakang, nanti kita ketemu di persimpangan, Om mau main ke rumahmu, boleh kan?"

Dia memberikan jawaban dengan menganggukan kepalanya, kemudian lanjut jalan. Aku mengikutinya dari belakang, hingga akhirnya kita sampai di persimpangan. Terlihat sebuah rumah yang tidak begitu besar, namun memiliki halaman yang cukup luas. Dan penuh dengan tanaman hijau.

"Wah, rumahmu sangat asri ya, Nak!"

"Terima kasih, silahkan duduk Om, saya izin ganti pakaian dulu ya"

Aku duduk di kursi depan jendela kaca. Ditemani suara gesekan dedaunan yang merdu.

"Maaf menunggu Om, tidak ada minuman mewah, hanya air putih, silahkan diminum Om!"

"Ah tidak mengapa, maaf merepotkan mu, oh ya kita belum berkenalan, nama saya Irfan"

"Iya, Om, saya Raffy. Apa tujuan Om mampir ke rumahku?"

"Wah nama yang bagus. Om sebenarnya penasaran, beberapa waktu lalu Om melihat kamu berjalan dengan masih mengenakan seragam sekolah sambil membawa karung itu, begitu pun dengan hari ini, sebenarnya apa yang kamu lakukan?"

"Ya seperti yang Om lihat, aku mengambil sampah-sampah di sepanjang jalan pulang dari sekolah ke rumah"

"Ya Om tahu, tapi apa tujuanmu? Maaf sebelumnya kalau melihat dari caramu berpakaian dan tempat tinggalmu, tidak menggambarkan keadaan yang sulit, bukankah mengumpulkan botol bekas seperti ini dengan tujuan menghasilkan uang?"

"Ya benar sekali, Om. Awalnya aku tidak mengerti kalau ternyata yang ku anggap sampah ini bisa menghasilkan uang. Aku memungut semua sampah ini karena aku tidak nyaman melihat lingkungan yang banyak sampah berserakan"

"Oh gituu, lalu?" Rasa penasaranku semakin bertambah.

"Ya, kemudian Ibuku mengetahui kebiasaanku ini, akhirnya Ibu menjelaskan bahwa diantara sampah-sampah ini bisa berubah menjadi uang"

"Jadi Ibumu pun tahu bahkan mendukung apa yang kamu lakukan ini?"

"Iya, Om. Karena, Ibu tahu aku melakukannya dengan tujuan menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Walaupun, aku pernah mendapatkan perundungan dari beberapa temanku. Sebagian dari mereka mengejekku aneh. Awalnya aku merasa sedih. Tapi aku tidak mempedulikannya"

Raffy menjelaskan dengan santai bak orang dewasa, sambil memilah sampah yang ia dapatkan hari ini.

"Aku tidak kekurangan apapun dari Ayah dan Ibuku Om, tapi dengan uang yang aku hasilkan,  aku bisa menabung lebih banyak, bahkan bisa membantu temanku yang mungkin sedang kesusahan"

Jujur saja pada awalnya aku merasa iba saat pertama kali melihat Raffy. Tapi ternyata aku salah. Aku lebih kasihan kepada diriku sendiri. Lebih tepatnya aku merasa malu.

Banyak sekali pelajaran yang aku dapatkan dari anak kecil ini. Mulai dari mencintai lingkungan, mengatur uang, hingga melihat peluang bisnis dari hal yang dianggap tidak ada nilainya.

Aku sangat kagum dengan didikan yang diberikan oleh orang tuanya Raffy. Seorang anak kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar bisa memiliki kedewasaan yang bahkan aku sebagai orang dewasa pun tidak memilikinya.

"Kamu hebat sekali Raffy, oh ya kalau boleh tahu apa cita-citamu?"

"Aku ingin menjadi menteri pendidikan Om, agar bisa memberikan pendidikan yang merata kepada teman-temanku yang tidak bisa sekolah karena keterbatasan ekonomi."

"Wah, semakin takjub Om mendengar penjelasanmu"

Aku hanyut dalam obrolan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehku. Banyak sekali cerita yang disampaikan Raffy.

Oh ya kedua orang tua Raffy bekerja sebagai Guru. Ayahnya Raffy kepala sekolah di SMP negeri. Sedangkan Ibunya guru TK. 

Raffy anak pertama yang kini menjadi anak tunggal. Karena tepat 1 tahun yang lalu Adiknya meninggal di usianya yang baru 10 bulan.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 14.20 WIB. Aku pamit pulang dan berjanji pekan depan akan mengunjunginya lagi untuk memberikan hadiah.

***

Hari ini aku berada di salah satu toko buku yang kebetulan dekat dengan tempat kerja. Karena dari obrolan minggu lalu, Raffy menyebutkan bahwa dia hobi membaca buku. Jadi aku memutuskan untuk memberikan hadiah buku.

Aku membeli satu buku fiksi, yang tentunya buku fiksi yang sesuai dengan usianya. Selain itu, aku juga membeli dua buku lain yang berkaitan dengan minat Raffy dalam menjaga lingkungan.

***

Sesampainya di rumah Raffy, aku disambut oleh kedua orang tua Raffy. Mereka menyambutku dengan hangat dan tampak raut wajah gembira dari Raffy karena aku datang untuk menepati janjiku di minggu lalu.

Aku dipersilahkan masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Terlihat penataan dalam ruangan yang begitu estetik. Dari arah dapur Ibu Raffy membawakan nampan yang diatasnya ada 4 cangkir teh panas, dan beberapa camilan. Diantaranya terlihat ada ulen.

"Silahkan Mas Irfan, dicicipi, Ibu baru saja buat ini"

"Wah, terlihat enak sekali sepertinya, ini ulen ya, Bu?"

"Iya Mas, benar sekali, ini camilan favoritnya Raffy lho," jelas sang Ibu.

"Wah, ternyata kita sama, Fy, ini juga camilan favorit Om"

Raffy tersenyum tipis saat mendengar pengakuanku. Sambil menyantap camilan yang disajikan Ibu Raffy, aku bertanya tentang bagaimana seorang Raffy bisa memiliki kebiasaan yang sangat menakjubkan.

"Bu, kalau boleh tahu bagaimana pola asuh Ibu dan Bapak kepada Raffy? Sehingga Raffy bisa menjadi anak hebat dan memiliki kebiasaan yang unik"

"Sebenarnya tidak ada parenting yang gimana gimana, yang pasti saya dan Ayahnya Raffy selalu menanamkan kedisiplinan dan senantiasa menjaga lingkungan," jelas sang Ibu.

"Sebenarnya, awalnya kita juga kaget Mas Irfan, melihat kebiasaan Raffy ini, tapi kemudian saya menjelaskan kepada Raffy lebih luas lagi, termasuk tentang botol bekas yang bisa menghasilkan uang," tambah Ayah Raffy.

"Apakah Ibu dan Bapak tidak merasa khawatir dengan kebiasaan Raffy? Mungkin saja orang di luar sana atau mungkin temannya Raffy akan menganggap aneh kepada Raffy"

"Tentu tidak Mas, karna kita tahu betul apa yang dilakukan Raffy ini. Selain menjaga lingkungan, saya juga menjelaskan tentang bagaimana cara pengolahan sampah. Bahkan, minggu lalu saya mengajak Raffy mengunjungi tempat pengolahan sampah di desa sebelah. Jadi Raffy tidak hanya tahu teorinya, tapi juga melihat langsung prosesnya. Selain sampah plastik yang bisa didaur ulang, ada juga sampah organik yang bisa dibuat menjadi magot atau pupuk."

Dari obrolan ini aku semakin dibuat kagum, bagaimana cara orang tua Raffy mendidik Raffy sehingga menjadi anak yang unik dan hebat. Sebelum aku pamit pulang, aku memberikan hadiah kepada Raffy. Terlihat dia sangat bahagia dengan apa yang aku berikan.

Aku pun merasa sangat senang dengan apa yang diberikan Raffy dan orang tuanya. Aku mendapatkan pelajaran hidup, tentang bagaimana menjaga dan mencintai lingkungan.

Di perjalanan pulang, teringat wajah bahagia Raffy yang membuatku tersenyum, mengingat betapa hebatnya anak ini. Walaupun Raffy memiliki pikiran yang dewasa dan bijaksana, Raffy tetaplah seorang anak kecil yang menggemaskan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun