Mohon tunggu...
Murni KemalaDewi
Murni KemalaDewi Mohon Tunggu... Novelis - Lazy Writer

Looking for place to write

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pemberontakan Cinderella

23 Mei 2019   05:40 Diperbarui: 23 Mei 2019   05:58 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

DURI LANDAK X

Erick berdiri di depan meja belajar Ivan sambil mengamati sepatu Aya. Ia meneliti sepatu itu dengan seksama. Lagaknya bak detektif yang sedang mencari clue. Sementara Ivan hanya tersenyum melihat ulah Erick sambil tetap asyik mengamati map yang tadi pagi diberikan Harun.

"Jadi gadis itu hanya meninggalkan sepatu ini sebagai barang bukti. Mmm... sangat misterius. Benar-benar sebuah misteri"

Ivan geleng-gelang kepala mendengar perkataan Erick.

"Gadis itu seperti Cinderella. Namun dalam versi lebih modern" kata Erick. Erick lalu menatap Ivan, "Apakah menurutmu gadis itu melarikan diri karena kereta kencananya sudah berubah menjadi labu?" tanyanya.

Ivan tertawa kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari map,

"Setahuku dalam dongeng Cinderella, kereta kencana akan berubah menjadi labu pada jam 12 malam." Ivan menatap Erick, "Sedangkan gadis itu sudah menghilang jam 9.15 malam "

Erick mengangkat kedua bahunya tak acuh,

"Yah mungkin saja kan gadis itu menggunakan labu dengan kualitas kelas 3. Padahal untuk bisa mencapai jam 12 malam dan agar sihir bisa bekerja dengan sempurna, setidaknya gadis itu harus menggunakan labu dengan kualitas ekspor"

"Kau ada-ada saja" tawa Ivan.

Ivan masih mengamati map di tangannya. Sementara Erick masih asyik mengamati sepatu itu. Tiba-tiba ia meraih sepatu itu dan membantingnya ke lantai. Ivan spontan mengangkat kepala dan menatap Erick heran,

"Apa yang sedang kau lakukan?!" tegurnya.

Erick kembali memungut sepatu itu. Ia menatap sepatu itu dengan wajah bingung,

"Tidak pecah?!" katanya dengan heran. Ia lalu menatap Ivan, "Kau yakin ini dongeng Cinderella. Bukankah seharusnya Cinderella itu memakai sepatu kaca? Tapi kenapa sepatu ini tidak pecah? Takutnya ini bukan cerita Cinderella, namun merupakan salah satu episode dalam series CSI! Mungkin saja gadis itu merupakan kriminal yang ditugaskan memikat Pangeran Ivan. Apa perlu aku menelfon Gil Grissom? Kebetulan aku adalah teman main bolanya. Atau jangan-jangan sepatu ini terbuat dari kaca anti pecah sekaligus anti peluru?! Atau... ahaaa... ini lebih mungkin lagi. Jangan-jangan gadis itu alien! Dan sepatu ini merupakan teknologi terbaru dari planet lain. Gadis itu pasti seorang sales di planet itu. Dia saat ini sebenarnya sedang berniat untuk berjualan sepatu ke bumi. Mmm... penuh teka teki dan sangat misterius" kata Erick dengan gaya berfikir keras. "Gadis itu sebenarnya sedang menyusun drama komedi, misteri, horror, science fiction atau drama percintaan?"

Ivan mendengus menahan tawa. Ia meremas selembar kertas yang ada di sampingnya hingga membentuk bola dan melemparkan kertas itu pada Erick,

"Tutup mulutmu!" katanya kesal.  

Erick mengelak dari lemparan kertas itu sambil tertawa kecil. Ivan geleng-geleng kepala dan kembali menatap map di tangannya. Erick mendekati Ivan. Ia kembali meletakan sepatu itu di atas meja dan menatap Ivan dengan wajah serius,

"Apa rencanamu, Bro? Apa kau berniat untuk mendatangi semua gadis yang ada di dalam daftar itu sambil membawa sepatu ini? Atau kau ingin mengadakan sayembara 'Pangeran Ivan mencari istri' dan menikahi gadis yang kakinya muat di sepatu ini. Apa tidak sebaiknya kau lebih berhati-hati. Mungkin saja gadis ini seorang penipu"

Ivan berhenti membaca dan menatap Erick dengan serius,

"Aku tidak tahu. Entah kenapa gadis itu menghantui pikiranku. Mungkin saja aku hanya sekedar penasaran dan ingin mengenalnya. Apa lagi semalam dia pergi dengan cara seperti itu. Aku tidak peduli apakah dia seorang penipu atau seorang Cinderella. Setidak-tidaknya aku harus mengembalikan sepatu ini pada pemiliknya"

"Kau jatuh cinta pada gadis itu?" tanya Erick penuh selidik.

Ivan terpaku sesaat. Namun akhirnya menggeleng pelan,

"Aku tidak tahu. Entahlah. Mungkin saja begitu. Tapi aku juga bukan tipe orang yang akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Mungkin saja sihir dongeng Cinderella sedang bekerja padaku. Bukankah pangeran dalam dongeng itu menemukan cinta sejatinya yakni Cinderella.  Siapa tahu aku bisa seberuntung dia. Karena itu aku tertarik untuk mencari tahu. Kurasa tidak ada seorang pangeran pun yang sanggup menolak pesona Cinderella!" kata Ivan dengan jenaka.

Erick tertawa kecil.

"Yah...kalau demikian aku berharap kau bisa menemukan caranya tanpa menimbulkan skandal"

Ivan kembali menekuni map di tangannya,

"Tenang saja. Menurut perkiraanku, gadis itu adalah tamu undangan kerajaan dan bukan teman-temanmu"

"Dari mana kau tahu?" tanya Erick heran.

"Karena dia mengenakan gaun dan topeng. Bukan kostum penyihir, badut, petani ataupun..." Ivan menatap Erick dan tersenyum, "...teroris"

Wajah Erick spontan berubah jengkel,

"Ya..ya..ya! Aku mengerti apa maksudmu!" Erick mendengus kesal, "Huh... katanya tidak akan dipermasalahkan, tapi nyatanya!"

Ivan tertawa kecil dan kembali asyik mengamati map. Sementara Erick kembali meraih sepatu itu dan menelitinya dengan seksama. Tak lama Ivan tiba-tiba menutup map di tangannya dengan wajah kesal. Ia melemparkan map itu dengan kasar ke atas meja,

"Sial! Bagaimana aku bisa tahu siapa diantara mereka yang berambut panjang. Seharusnya Pak Harun menyertakan foto mereka!" keluhnya jengkel.

Erick tersenyum misterius sambil mengamati sepatu Aya.

"Kelihatannya kau menemui jalan buntu, Bro"

"Menurutmu?!" kata Ivan jengkel.

Erick masih dengan senyum yang sama menatap Ivan,

"Apa butuh bantuanku?"

"Memangnya apa lagi yang bisa kau lakukan selain mengejekku" sindir Ivan.

"Yah... setidak-tidaknya aku bisa memberitahukan padamu nama toko tempat gadis itu membeli sepatunya" jawab Erick.

"Apa maksudmu sebenarnya?" tanya Ivan penasaran.

"Kalau tidak salah, toko tempat gadis itu membeli sepatu ini adalah toko kelas atas yang menyediakan sepatu yang sama dalam jumlah terbatas dan hanya bisa didapatkan di toko itu. Dan kabar baiknya lagi, toko itu juga menyimpan semua alamat orang-orang yang membeli sepatunya produk mereka." terang Erick.

Ivan terlihat sangat heran,

"Dari mana kau tahu semua itu? Memangnya di sepatu itu tertulis nama tokonya?"

Erick tersenyum lebar,

"Kurang lebih seperti itu!"

Erick membalik sepatu itu dan memperlihatkannya pada Ivan. Di bagian bawah sepatu itu, label nama toko tempat Memey membeli sepatu, masih terpasang. Ivan langsung berdiri dan menyambar sepatu itu dari tangan Erick. Senyum kemenangan terpancar di wajahnya.

@@@

Ivan berada di depan pintu toko sepatu itu. Ia sedang membaca buku sambil mendengarkan musik di Ipodnya. Sesekali ia melihat ke arah toko sepatu itu dengan wajah tak sabar.

Tak lama kemudian, dari pintu toko, Pengawalnya keluar sambil membawa sebuah kotak yang di dalamnya berisikan sepatu Aya. Pengawalnya mendekati mobil. Ivan menurunkan kaca mobilnya,

"Saya menghadap Yang Mulia Pangeran" sapa Pengawalnya dengan hormat.

"Bagaimana?" tanya Ivan melepas earphonenya.

"Saya berhasil mendapatkan sedikit informasi mengenai sepatu ini, Yang Mulia."

"Informasi seperti apa?"

"Menurut manager toko sepatu ini, sepatu dengan model seperti ini memang diproduksi dalam jumlah yang terbatas.  Jumlahnya hanya ada 6 pasang dengan warna dan ukuran yang berbeda." jelas Pengawalnya.

"Jadi sepatu dengan ukuran, bentuk dan warna seperti ini, hanya ada satu?" tanya Ivan memastikan.

"Benar, Yang Mulia" jawab Pengawalnya.

Ivan terlihat senang.

"Apa kau mendapatkan nama pembelinya?" tanya Ivan antusias.

Pengawalnya terlihat ragu dan menjadi salah tingkah,

"Eh... itu..."

"Ada apa?" tanya Ivan heran.

Ekspresi pengawalnya seperti orang yang tak tahu harus berkata apa,

"Eng... menurut keterangan  manager toko, sepatu ini merupakan sepatu terakhir yang terjual dari 6 pasang sepatu yang ada. Hal ini dikarenakan pita yang terpasang di sepatu yang sebelah kiri longgar dan sepatu ini dianggap tidak layak jual. Oleh sebab itu mereka hanya menggunakan sepatu ini sebagai pajangan. Namun orang yang membeli sepatu ini bersikeras untuk memiliki sepatu ini. Setelah berdebat cukup lama, akhirnya sepatu ini mereka lepas dengan potongan harga yang cukup besar." jelas Pengawalnya.

"Lalu apa masalahnya? Mereka menjual sepatu ini pada siapa?" tanya Ivan bingung.

Pengawalnya kembali terlihat gugup,

"Eng... itu... pada..."

"Katakan saja sejujurnya. Jangan berbelit-belit" tegur Ivan kesal.

"Maafkan saya, Yang Mulia. Menurut manager toko, mereka menjualnya pada... pada... pada seorang waria" kata Pengawalnya dengan wajah serba salah.

Ivan tertegun mendengar hal itu.

"Pada siapa?"

"Pada seorang waria, Yang Mulia" tegas Pengawalnya.

Ivan seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Pada seorang waria?!" bisiknya bingung.

"Benar, Yang Mulia Pangeran. Saya tidak berani membohongi Yang Mulia." jawab Pengawalnya.

Ivan terpaku dalam waktu yang lama. Pengawal Ivan menatap Ivan dengan wajah khawatir,

"Saya telah meninggalkan nomor telepon saya pada manager itu, jika semisalnya ia memiliki informasi tambahan, Yang Mulia" katanya ragu.

Ivan perlahan menganggukan kepalanya dengan kaku,

"Sudahlah. Lupakan saja. Sebaiknya kita segera pergi dari sini!" perintah Ivan kaku.

"Baik, Yang Mulia!" jawab Pengawalnya.

"Dan terima kasih atas bantuanmu." kata Ivan lagi.

"Sudah menjadi tugas saya, Yang Mulia Pangeran." jawab Pengawalnya menundukan kepalanya dengan hormat.

Pengawalnya kemudian memasuki mobil. Ivan menutup kaca mobilnya dengan wajah dingin. Saat itulah dari arah yang berlawanan, ketika mobil Ivan mulai berjalan, Aya yang mengenakan seragam sekolah, muncul memasuki toko sepatu itu.

"Selamat datang" sapa Erni seorang pelayan di toko sepatu itu.

Aya mendekati Erni,

"Maaf, Mbak. Saya hanya mau numpang tanya"

"Ada apa ya, Dek?" tanya Erni ramah.

Aya lalu mengeluarkan sepatu Memey dari kantong yang dibawanya dan meletakannya di hadapan Erni,

"Apa benar sepatu ini dijual di sini?" tanya Aya.

Erni mengambil sepatu itu dan memeriksanya dengan seksama. Tak lama kemudian ia menyerahkan sepatu itu lagi pada Aya,

"Benar, Dek. Sepatu ini memang diproduksi di toko kami. Tapi sepatu dengan model ini sudah tidak ada lagi. Karena ini buatan khusus dan jumlahnya terbatas." jelas Erni.

"Jadi sepatu dengan model dan bentuk serta warna yang sama, sudah tidak ada lagi, Mbak?" tanya Aya lesu.

"Maaf, Dek. Tapi sudah tidak diproduksi lagi." jawab Erni.

Aya menundukan kepalanya lesu. Untuk sesaat ia seperti orang yang kehabisan tenaga.

"Ada yang bisa dibantu lagi, Dek?" tanya Erni.

Aya menatap Erni dan tersenyum lemah,

"Sudah tidak ada, Mbak. Terima kasih ya" katanya.

Aya kembali memasukan sepatu itu ke dalam kantong yang dibawanya dan berjalan keluar dengan langkah gontai. Bersamaan dengan saat Aya membuka pintu toko itu untuk keluar, pelayan toko lainnya yang bernama Dian, mendekati Erni,

"Ada apa, Er?" tanyanya sambil menunjuk Aya dengan kepalanya.

"Nggak apa-apa. Tuh cewek cuma datang nanyain masalah sepatu."

"Ooo..." Dian lalu menatap Erni, "Eh... kamu jadi besok subuh berangkat ke Papua?" tanya Dian antusias.

"Ya iya lah! Suamiku udah nelfonin terus selama seminggu. Di sana dia nggak ada yang masakin. Kalo aku ndak juga nyusul dengan segera, walah... alamat dicere ama dia!" jawab Erni.

Dian tertawa kecil,

"Suamimu ada-ada saja. Masak mie instan dulu napa?!"

Erni ikut tertawa.

Ketika itulah manager toko tersebut mendatangi mereka dengan wajah serius.

"Erni, Dian! Saya ingin menyampaikan sesuatu." katanya.

"Mau menyampaikan apa, Pak? Kenaikan gaji?" tanya Dian penuh harap.

"Huss.....gaji mulu yang dipikirin. Bukan. Ini tentang sepatu yang pernah kita produksi awal Januari lalu. Yang kita beri tema 'Menjemput Impian' " jawab manager itu.

Erni dan Dian tampak berfikir keras. Lalu Dian terlihat mengangguk-angguk,

"Ooo... yang jumlahnya 6 pasang itu kan, Pak!" serunya gembira.

"Yang mana sih?" tanya Erni menyenggol Dian.

" Yang itu loh, sepatu yang pernah dibeli sama waria yang dulu sempat bikin kita kalang kabut. Yang berkeras buat ngedapatin sepasang, yang mulanya mau kita jadiin pajangan karena ndak layak jual." jelas Dian.

"Oooo sepatu yang itu!" kata Erni mengangguk tanda mengerti.

"Benar! Sepatu yang itu" sambar managernya antusias.

"Memangnya ada apa dengan sepatu itu, Pak?" tanya Dian lagi.

"Dengar ya! Jika kalian punya info sekecil apapun mengenai sepatu itu, kalian harus menyampaikannya pada saya segera. Terutama yang dibeli oleh waria itu." jelas managernya penuh semangat.

"Loh, kan tinggal dilihat di daftar alamat, Pak. Jadi kita bisa segera menanyakan mengenai sepatu itu pada para pembelinya." jelas Dian lagi.

"Saya tahu! Tapi bisa saja kan, kalau mereka membeli sepatu itu untuk dijadiin hadiah. Jadi saya berharap kalian bisa mengingat dengan baik alasan apa yang disampaikan oleh setiap pembeli sepatu itu ketika membeli sepatunya. Sementara yang dibeli oleh waria itu, bukannya saat itu kita tidak meminta alamatnya? Karena kita sudah lelah dengan semua teror yang dilakukannya hanya demi mendapatkan sepatu itu?!" kata managernya lagi.

Erni dan Dian tertawa mengingat saat itu. Memang saat itu mereka sangat shock sekali ketika Memey memasuki toko dan bilang kalau sepatu itu harus dibelinya. Mereka semua hanya ingin segera lepas dari teror Memey, hingga akhirnya menjual sepatu itu tanpa menanyakan alamat ataupun namanya.

"Oke Pak kalau begitu. Saya coba-coba ingat loh, Pak. Tapi saya ndak janji" jawab Dian jenaka.

Managernya menatap Dian sewot.

"Loh, kalau ndak salah, gadis yang datang barusan juga nanyain tentang sepatu itu, Pak!" kata Erni tiba-tiba.

Manager menatap Erni dengan heran,

"Gadis yang mana?" tanyanya.

"Anak SMA yang barusan keluar dari toko kita, Pak. Dia juga membawa sepatu itu."      

Wajah manager terlihat gembira,

"Lalu kamu bilang apa?"

"Yah saya bilang saja kalau sepatu itu sudah tidak diproduksi lagi." jawab Erni.

"Lalu kamu tanyain alamat dia tidak?" tanya managernya lagi, harap-harap cemas.

"Buat apa, Pak? Dia kan hanya mau nanyain masalah sepatu, bukannya membeli sepatu. Sementara kita kan hanya mencatat alamat orang yang membeli sepatu." jawab Erni heran.

"Aduh Erniiii, kamu itu ceroboh sekali. Kenapa kamu tidak tanya sama saya duluu" kata managernya kesal.

Manager itu lalu memutar badannya menuju kantor dengan jengkel. Erni dan Dian hanya bisa menatap hal itu dengan bingung.

"Si Bapak kenapa sih?" tanya Erni heran.

Dian mengangkat kedua bahunya dengan tak acuh,

"Tahu tuh! Datang bulan kali!"

Erni dan Dian saling berpandangan seraya tertawa kecil.

@@@

Aya menangis dihadapan Memey. Memey menepuk-nepuk pundaknya,

"Udah lah, Ay. Ndak apa apa. Toh nasi sudah jadi bubur " katanya.

"Tapi Aya nggak enak sama Mbak Memey. Maafin Aya ya, Mbak. Mbak sudah berbaik hati minjamin Aya semuanya, tapi Aya tidak bisa menjaga amanah. Aya malah menghilangkan sepatu yang Mbak Memey beli dengan susah payah" tangis Aya.

"Kamu kan tidak sengaja. Lagi pula dalam situasi segenting itu, jika kamu masih sempat-sempatnya mikirin sepatu, sama saja kamu cari mati. Sudah! Jangan nangis lagi. Mbak Memey ikhlas kok. Lagian sepatu itu juga tidak muat di kaki Mbak. Mbak beli cuma karena sepatunya terlihat cantik saja dan mbak suka." jelas Memey mencoba menenangkan Aya.

"Terima kasih y, Mbak. Tapi walau bagaimanapun, Aya tetap harus bertanggung jawab" Aya mengeluarkan amplop dari sakunya, "Aya tidak tahu berapa harga sepatu itu, tapi Aya berharap uang pesangon dari Koh Ahong bisa jadi uang muka untuk membayar sepatu itu." katanya menyerahkan amplop itu pada Memey.

Memey menolak amplop itu,

"Tidak usah! Iiihh... kamu itu dibilangin bandel amat yaa! Mbak ikhlas kok. Lagian kan Mbak yang udah maksa kamu untuk datang ke pesta itu. Jadi ini juga jadi tanggung jawab Mbak. Sudah. Simpan saja uangnya" kata Memey.

"Tapi..."

"Nggak pake tapi-tapian!" Memey menghela nafas, "Mbak itu sebenarnya ingin membuka pikiran kamu kalau tidak semua orang kaya itu akan berbuat sewenang-wenang seperti yang terjadi pada ibumu. Tapi kejadiannya malah begini. Mbak ternyata malah menggiring kamu masuk kandang macan. Ternyata ibu kamu ada benarnya juga. Kebanyakan orang-orang kaya itu adalah makhluk-makhluk ganas sejenis predator!" kata Memey.

Aya menatap Memey bingung dengan wajah berlinang air mata,

"Predator?"

Memey mengaangguk penuh semangat,

"Iya. Predator. Suka memangsa orang-orang kecil seperti kita. Auuumm!" kata Memey penuh semangat.

Aya tersenyum kecil,

"Mbak Memey bisa saja. Kalau orang kaya itu predator, trus kita apaan dong, Mbak?" tanya Aya.

Memey tampak berfikir,

"Mmm... sepertinya kita ini adalah makhluk memamah biak deh."

"Maksud, Mbak?"

"Loh... bukannya orang miskin seperti kita selalu sibuk memikirkan cara mencari makan ke sana kemari hanya demi rumput segar untuk penyumpal perut yang lapar. Nyam...nyam...nyam" jawab Memey.

Aya tertawa kecil. Ia berusaha menghapus air matanya.

"Makasih ya, Mbak Memey. Aya benar-benar nggak tahu mesti bilang apa lagi"

"Tenang saja! Kamu nggak usah pikirin. Nanti kalau kamu sudah punya banyak uang, jangan lupa beliin Mbak sepatu yang lebih bagus. Okey?!" kata Memey.

Aya tersenyum sambil menganggukan kepalanya,

"Okey, Mbak! Aya janji" jawabnya.

@@@

Ivan berdiri melamun menatap kolam renang sambil menikmati minuman kaleng yang ada di tangannya. Sementara Erick yang duduk di kursi di dekatnya, menatap Ivan dengan wajah kaget sambil terbatuk-batuk,

"WHATZ?! WARIAA?! Serius, Bro?" tanyanya tak percaya.

Ivan menganggukan kepalanya lesu. Ia kembali meminum minumannya.

"Masa sih?" tanya Erick tak percaya. Erick lalu menatap Ivan, "Memangnya gadis yang bersamamu semalam, menurutmu dia adalah waria?" tanyanya.

Ivan menggeleng lemah,

"Aku tidak tahu." Ivan menghela nafas dan meremukan kaleng minuman yang ada di tangannya, "Entahlah"

Erick menatap Ivan penuh pengertian. Ia lalu mendekati Ivan dan menepuk pelan pundak sepupunya itu,

"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Erick.

Ivan menatap Erick dan memperlihatkan kaleng yang remuk. Ia tersenyum tenang,

"Membuang sampah." katanya mendekati tong sampah yang berada di dekat kolam renang dan memasukan kaleng ke dalam tong. Ivan terpaku menatap tong itu, "Apa menurutmu aku sebaiknya melakukan hal yang sama pada sepatu itu?" tanyanya.

Erick mengangkat kedua bahunya dengan tak peduli,

"Terserah kau, Bro. Lagi pula jika informasi itu benar, untuk apa lagi kau menyimpan sepatu itu?" Erick tersenyum jenaka, "Kecuali kau memang tertarik dengan sesama jenis." katanya memainkan alisnya dengan jenaka.

Ivan tertawa kecil. Ia mendekati Erick dengan santai,

"Dengar, Rick. Bila aku memang tertarik pada pria..."Ivan mengamati Erick dari atas hingga bawah dengan pandangan menilai. Ia lalu tersenyum menatap Erick, "... kau adalah orang pertama yang akan aku cari" katanya.

Erick dengan ekspresi ketakutan, spontan menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Ivan tertawa kecil,

"Hei! Apa-apaan kau ini! Aku tidak akan menyerangmu! Tenang saja!" kata Ivan jengkel seraya meninju dagu Erick dengan pelan.

Erick tertawa menurunkan tangannya,

"Dasar gila!" kata Ivan lagi sembari duduk di kursi yang ada di tepi kolam renang.

Erick tersenyum dan ikut duduk di sebelahnya dan menyambar teh kotak kesukaannya,

"Sudah jangan dipikirkan lagi. Anggap saja peristiwa tadi malam tidak terjadi. Kau sih, terlalu banyak membaca cerita dongeng. Mulai dari dongeng Cinderella, Snow White, Beauty and The Beast, Aladdin, Little Mermaid sampai Princess Aurora. Sekali-kali kau harus memperluas wawasanmu untuk membaca serial horror, Harry Potter atau serial detektif. Aku yakin kalau kau membaca cerita seperti itu, maka kau akan berfikir kalau gadis itu sebenarnya bukan Cinderella, namun suruhan Lord Voldemort yang ingin merubahmu menjadi pangeran kodok" ejek Erick.

Ivan tertawa kecil. Ia menghela nafas dan tampak melamun,

"Entah kenapa aku tidak percaya kalau gadis itu waria. Apa benar teknologi operasi plastik sudah begitu canggih? Dia... cantik." kata Ivan membayangkan peristiwa tadi malam. " Begitu berbeda dari gadis-gadis lain yang biasa minta perhatianku." Ivan tersenyum lembut, "Dia juga sangat rakus. Aku belum pernah melihat seorang gadis makan sebanyak dan secepat itu. Dari satu piring kue beralih ke piring lain dengan sangat cepat." katanya tertawa kecil.

Erick menggeleng-gelengkan kepala menatap Ivan,

"Gawat, Bro! Komputer yang ada di otakmu sudah mulai terserang virus. Kalau sampai menyebar ke pusat data yang ada di hatimu, bisa-bisa seluruh sistem jaringan yang ada di dirimu harus segera di perbaiki."

Ivan tersenyum kecil dan menghela nafas panjang,

"Sayangnya, tombol control, alt, delete sedang tidak berfungsi. Kalau tidak..." Ivan menatap Erick, "... aku pasti sudah bisa close and than turn off my computer" katanya.

Mereka berdua tertawa kecil. Ketika itulah Pengawal Ivan mendekati Ivan dan menunduk hormat,

"Maafkan saya mengganggu anda, Yang Mulia Pangeran. Tapi sudah saatnya Yang Mulia Pangeran kembali ke istana" kata Pengawalnya.

"Baiklah. Aku tahu." jawab Ivan.

Ivan menepuk pelan lutut Erick,

"Aku pulang dulu, Bro"

"Loh, bukannya kau mau tidur di sini?" tanya Erick heran.

"Kenapa? Kau takut tidur sendiri?" tanya Ivan jenaka. "Makanya jangan terlalu sering membaca cerita horror. Apa perlu ku pinjamkan buku dongeng Cinderellaku?" tanyanya lagi.

Erick memberikan Ivan tatapan jengkel sementara Ivan tertawa kecil karena berhasil membalas Erick.

Tiba-tiba terdengar bunyi hp dari Pengawal Ivan dengan ringtone "Bang Toyib". Ivan dan Erick spontan menatap Pengawal Ivan yang terlihat gelagapan, mencoba mengangkat hp nya. Ivan dan Erick saling berpandangan menahan tawa.

"Ha..hallo! Ada yang bisa saya bantu?" tanya Pengawal Ivan gelagapan.

Terdengar jawaban dari arah sana. Pengawal Ivan tampak mendengarkan dengan seksama sambil sekali-kali mengangguk tanda mengerti.

"Baiklah. Saya tahu. Terima kasih atas informasinya. Selamat malam" katanya sambil menutup hp nya.

Ia lalu menatap Ivan,

"Maafkan saya, Yang Mulia Pangeran. Baru saja manager toko sepatu tadi siang yang kita datangi, menelfon untuk memberikan informasi tambahan mengenai sepatu itu." jelas Pengawalnya.

"Informasi tambahan seperti apa?" tanya Ivan tak acuh.

"Menurut manager itu, tadi siang, tidak lama setelah kita pergi, ada seorang gadis muda datang dan menanyakan tentang sepatu yang sama" jelas Pengawalnya.

"Gadis muda?" kata Ivan dengan wajah heran.

"Kau yakin bukan waria?" tanya Erick.

"Bukan, Tuan Erick. Manager itu mengatakan kalau gadis itu menanyakan tentang sepatu itu dan bahkan membawa sepatu pasangannya. Ia menanyakan apakah di toko itu masih menjual sepatu yang sama" jawab Pengawal Ivan.

Ivan dan Erick saling berpandangan,

"Apa dia gadis yang aku cari?" tanya Ivan

"Mungkin saja. Tidak ada salahnya kau mencari tahu terlebih dahulu" kata Erick memberi semangat.

"Besok pagi, aku akan pergi mengunjungi toko itu." kata Ivan dengan wajah serius.

"Aku ikut! Aku jadi penasaran, siapa gadis itu sebenarnya" kata Erick.

"Loh, bukannya besok kau harus sekolah?" tanya Ivan heran.

"Bolos jam pertama dan kedua tidak masalah, Bro. Toh pelajarannya Pak Linglung. Dia tidak akan menyadari walau satu sekolah tiba-tiba menghilang dari hadapannya dengan tiba-tiba." kata Erick sambil nyengir.

Ivan mengerutkan dahinya bingung,

"Pak Linglung?" Ivan menatap Erick tak setuju, "Bagaimanapun kau tidak boleh bolos." tegur Ivan.

"Ayolah, Brooo. Sekali iniii saja. Aku penasaran sekali dengan cerita detektif ini. Sebelum misteri terungkap, mana mungkin Sherlock Holmes berhenti menggunakan kaca pembesarnya." bujuk Erick.

Ivan tersenyum kecil,

"Cerita detektif? Aku kira kita sudah sepakat kalau ini adalah dongeng Cinderella"

"Tidak masalah. Anggap saja dalam dongeng Cinderella mu ini, Sherlock Holmes disewa pangeran untuk menemukan Cinderella" jawab Erick tak peduli.

Ivan tertawa kecil,

"Kau memang paling bisa mengelak." Ivan lalu menatap Erick serius, "Tapi aku tidak akan mau bertanggung jawab, bila kau dihukum karena bolos."

"Take it easy, Broo! Asal aku tidak tertangkap Pak Disiplin, aku pasti bisa membereskan satpam yang berjaga di depan pagar dengan gampang." jawab Erick santai.

Ivan menatap Erick dengan bingung,

"Pak Disiplin?" Ivan menggeleng-gelengkan kepalanya heran, "Nama guru di sekolahmu aneh-aneh semua." katanya.

"Yaa.. gitu deh!" jawab Erick sambil nyengir.

@@@

Pak Maman sedang bicara dengan Pak Kasno pemilik rumah kontrakan.

"Maaf ya, Pak Maman. Tapi sudah tiga bulan kontrakan belum dibayar. Istri saya sudah mulai marah-marah." kata Pak Kasno.

"Saya tahu, Pak. Tapi saya sedang tidak punya uang. Saya cari uang dulu ya, Pak. Saya sedang cari kerja." jawab Pak Maman dengan wajah sedih.

Pak Kasno menghela nafas,

"Baiklah. Tapi jangan lama-lama ya, Pak Maman. Soalnya Bapak pasti tahu bagaimana istri saya kan?! Kalau nanti masih belum bayar, rumahnya terpaksa saya kosongkan."

"Baik, Pak Kasno" jawab Pak Maman. Pak Maman tiba-tiba menangis,  "Saya akan cari kerja dulu dan bayar uang rumahnya"

Pak Kasno tampak kebingungan,

"Eh, Pak Maman jangan nangis. Nanti kalau Aya lihat bisa-bisa saya lagi dimarahi sama dia" kata Pak Kasno.

Pak Maman mengangguk lesu dan menghapus air matanya dengan lengan baju,

"Baik, Pak."

Pak Kasno terlihat lega,

"Ya sudah kalo begitu. Saya permisi dulu ya, Pak. Sampaikan salam saya buat Aya." pamit Pak Kasno.

Pak Maman kembali mengangguk lesu,

"Baik, Pak."

"Assalammualaikum" kata Pak Kasno berlalu keluar rumah.

"Waalaikum salam " jawab Pak Maman lemah.

Pak Maman menatap kepergian Pak Kasno dengan wajah lesu.

@@@

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun