Mohon tunggu...
Katherine Kat
Katherine Kat Mohon Tunggu... Freelancer - Wife, Mom & Self-employed

Tinggal di Toorak, VIC dan Jawa Tengah, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ketika Customer Kembali Terasa Berharga

2 April 2020   10:24 Diperbarui: 2 April 2020   11:01 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit: svgsilh.com  

Kemarin status Indonesia berubah menjadi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) melalui Keppres No.11 Tahun 2020. Di dunia maya banyak yang salah kaprah menyamakannya dengan Darurat Sipil termasuk yang mengklaim diri paham Ketatanegaraan.

Tapi biarlah itu dijelaskan dan dicerahan oleh pakarnya. Saya jelas bukan, saya adalah seorang pedagang daring (online) karenanya saya akan menulis sesuai bidang pengalaman (bukan keahlian).

Beberapa bulan lalu ketika saya menulis opini seputar kredibilitas rating di perdagangan daring (online) baik barang seperti di marketplace maupun jasa seperti hail-ride (Grab, Go-Jek, dll) mungkin tak banyak yang menganggap penting.

Besaran omzet dan kecenderungan konsumen belanja barang maupun jasa secara daring membuat penjual barang/jasa terlena dan mulai menyepelekan konsumen.

Konsumen dianggap sebagai poin, sebagai angka-angka dan sisi kemanusiaannya dilupakan.


Buktinya? Tengok saja pedagang di marketplace yang bikin klausula seenak dengkulnya. Menyebut “Be Smart Buyer” padahal isinya sekedar upaya melepaskan diri dari pertanggungjawaban.

Walaupun itu bisa dipermasalahkan dari sisi hukum Perjanjian tapi sebagian besar konsumen tentu tak mau repot dan pilih mengalah.

Situasi itu dimanfaatkan makin banyak pedagang daring untuk membuat klausula yang makin aneh-aneh seperti “Tidak menerima review negatif” dan klausul-klausul lain yang jamak dipakai oleh pedagang cengeng.

Bagaimana dengan jasa hail-ride?

Sama saja, makin tingginya pengguna jasa muncul oknum-oknum yang berani mengancam menurunkan penumpang, SMS gelap ke pengguna jasa ketika tak diberi bintang 5 atau ordernya di cancel karena permintaan driver sendiri tapi emoh kalau alasan yang dipilih konsumen sesuai faktanya.

Kenapa saya sebut SMS gelap? Karena pakai nomor yang berbeda dari nomor yang terdaftar. Tapi oleh pihak perusahaan kemudian nomor ponsel driver maupun pengguna jasa akhirnya di masking.

Lalu apa yang kita sebagai pedagang rasakan setidaknya dalam satu bulan terakhir ini? Penurunan omzet!

Memang penurunan tersebut bukan karena perlakuan kita para pedagang daring yang seenak dengkulnya pada konsumen dan tidak memanusiakan konsumen. Penurunan omzet ini karena himbauan physical distancing akibat mewabahnya COVID-19.

Awalnya tingkat penurunan tak seberapa namun hari demi hari jurang tersebut makin terasa, kadang seperti terjun bebas.

Setidaknya itu yang saya rasakan sendiri, kecuali Anda berbinis APD, disinfektan, masker atau kebutuhan lain yang mutlak diperlukan akibat COVID-19  ini Anda pun sekarang pasti juga merasakan apa yang saya rasakan.

Masyarakat bukan saja melakukan physical distancing, bekerja dari rumah atau di rumah saja. Tapi lebih dari itu kondisi perekonomian sebagian besar masyarakat juga menurun. Implikasinya calon konsumen bakal menunda pembelian keinginan-keinginan atau dengan kata lain menunda pembelian barang/jasa yang tidak substansial menunjang keberlangsungan hidup masing-masing.

Itulah sebabnya makin hari penurunan omzet pedangang non kebutuhan primer bakal makin nyata.

Kalau melihat situasi dan eskalasi sampai saat ini kemungkinan kondisi ini masih bakal berlangsung lama.

Diskusi di beberapa group yang saya ikuti bahkan sudah sampai tahap merumahkan karyawan/tim hingga opsi layoff jika situasi ini berkepanjangan. Artinya dampak COVID-19 ini tidak main-main.

Lalu pada saat wabah ini mereda/berakhir selanjutnya apa? Omzet kita pulih seperti sedia kala? Saya rasa tak bakal secepat itu, sebab secara ekonomi calon konsumen juga kehilangan daya beli selama wabah berlangsung.

Perlu waktu untuk pulih, saya bukan penggemar teori konspirasi tapi kalau Anda perhatikan terbitnya Perpu No. 1 Tahun 2020 kemarin sebenarnya tak sulit menilai betapa besar potensi dampak wabah COVID-19 ini secara perekonomian.

Lalu pelajarannya bagi kita pelaku usaha kecil apa?

Benar bahwa seiring dengan munculnya himbauan social distancing, WFH dan “di rumah saja” setidaknya untuk saat ini masih ada konsumen yang mengalihkan pembelian luring (offline) ke daring (online).

Beberapa perusahaan besar seperti susu “Fresh” misalnya makin memfokuskan ke penjualan daring.

Apa berarti ini merupakan momen positif bagi kita pedagang daring? Jangan senang dulu!

Tergantung apa yang Anda produksi dan jual. Kecuali Anda menjual/memproduksi kebutuhan pokok, APD, masker, disinfektan dan sejenisnya merosotnya omzet tetap akan berlangsung meski penjualannya berbasis daring.

Pelajaran sebenarnya bagi kita semua adalah fakta yang tak bisa ditampik bahwa customer adalah berharga.

Mungkin selama ini beberapa dari kita pedagang daring lupa memanusiakan customer dan sekedar menganggapnya sebagai akun, pengumpul poin, pengisi kas, angka-angka dan sebagainya karena jumlah mereka (customer) melimpah.

Hilang satu tumbuh seribu.

Dia ngga' beli masih banyak lainnya yang mau beli.

Paradigma semacam itu seolah runtuh begitu diperhadapkan pada kondisi seperti sekarang. Kita kembali bisa mengapresiasi keberadaan pelanggan (customer) berapapun yang masih tersisa.

Satu pelanggan pun jadi terasa begitu berharga, setidaknya sekedar menunjukkan bahwa roda perekonomian masih berputar.

Semoga suatu hari nanti ketika wabah ini sudah berakhir, kondisi perekonomian sudah pulih dan order kembali berdatangan kita tak lupa bahwa para pelanggan ini adalah manusia yang keberadaannya pantas kita apresiasi.

Semoga pada saat itu kita tak lagi melihat mereka sekedar sebagai pengumpul poin, target setoran, angka-angka dan sebagainya tapi mampu melihat mereka sebagai mitra yang saling membutuhkan dan saling menghargai.

Semoga lewat kondisi ini kita bisa belajar untuk tidak memperlakukan pelanggan seenak dengkul, membuat klausula aneh-aneh atau memaksa mereka untuk menjadi “Smart Buyer” padahal dibalik itu tujuannya tak lebih dari upaya melepas diri dari pertanggungjawaban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun