Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dunia Ini Panggung Omong Kosong

19 November 2022   16:42 Diperbarui: 22 April 2023   14:22 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Postwrap/katedrarajawen 

Sudahkah Anda omong kosong hari ini?

Adakah yang memungkiri bahwa dunia adalah panggung omong kosong? 

Dahulu melalui tokoh Jaques dalam karyanya berjudul As You Like It, William Shakespeare mengatakan bahwa dunia ini panggung sandiwara.

Apakah omong kosong bagian dari sandiwara? Anggap saja demikian.

Oleh sebab itu manusia hidup dalam omong kosong pun tak perlu merasa bersalah. Semua hanya sandiwara. Yang hidup tidak mengikuti omong kosong malah dianggap ibarat tokoh antagonis. Yang harus dimusuhi.

Jadi, omong kosong ada di mana-mana.  Karena orang-orang takut dianggap berbeda dan menjadi musuh bersama.

Tak heran omong kosong yang ada pun mendapat penerimaan. Ini semacam kebersamaan hidup dalam omong kosong.

Pagi itu seorang murid kelas dua SMP datang terlambat dengan seragam lusuh yang mungkin lupa disetrika ibunya yang setiap. sibuk menyapa teman-temannya di media sosial. Ia masuk  ke sekolah dengan santai.

"Andi, kenapa kamu terlambat lagi?"

Pak guru bertanya ketika Andi menghadap.

Dengan ekspresi setenang mungkin Andi menjawab, "Parah macetnya, Pak. Habis hujan banyak genangan air. Jadi, angkotnya mutar-mutar"

"Ya, sudah. Besok jangan terlambat lagi. Berangkat lebih pagi." Pak guru mempersilakan Andi masuk. Ia melangkah masuk dengan senyum penuh kemenangan atas omong kosongnya. 

Andi setiap malam keasyikan main gim daring  sampai tengah malam. Terlambat bangun. Macet jadi alasan sakti. Ternyata sukses.

Pak guru juga tak hendak banyak cakap atau mempertanyakan alasan Andi yang tak pernah berubah. Mungkin pak guru sudah paham karena ia pernah melakukan hal yang sama. Ketika masih sekolah.

Bisa jadi  sekarang zaman semua sepakat bahwa kemacetan adalah biang kerok keterlambatan. Bukan hanya anak-anak sekolah, tetapi juga bagi para pekerja. 

"Kenapa terlambat kamu, Din?" tanya atasan tempat Didin bekerja di pusat kota.

Pura-pura dengan wajah memelas Didin menjawab, "Aduh, Pak. Jalanan macet banget. Padahal pagi-pagi saya udah berangkat."

"Kamu kan bawa motor, kok masih bisa kena macet." Sang atasan masih berusaha menyelidiki.

"Biasa Senin, Pak. Macetnya padat. Jangankan motor, orang yang jalan kaki aja susah lewat." Didin pun berusaha meyakinkan.

Kenyataannya semalam Didin keasyikan berbalas pesan dengan cewek yang baru dikenalnya di media sosial Komporsiana. Media sosial pertemanan lokal yang sedang naik daun.

Terlambat. Katakan macet. Akan hadir anggukan kepala atau paling sedikit tanya. Entah takpercaya atau sekadar basa-basi. Solusi atas segala kemacetan adalah terlambat sepertinya sudah menjadi gaya hidup.

Entah sudah berapa banyak petisi dan orasi soal kemacetan di ibu kota negara. Namun, sampai hari ini kemacetan tak pernah reda. Kemacetan tetap menjadi bahan omong kosong semata.

Tatkala matahari sudah mulai sedikit meninggi terdengar inggar binggar suara massa di depan panggung. Rupanya sedang ada panggung politik. Suara musik dangdut dengan irama asyik membuat massa bergoyang. Mana tahan.

Tak lama kemudian tampil sosok gagah dengan kacamata hitam sebagai penunjang penampilan. Wajahnya persis dengan yang ada di beberapa baliho yang terpasang di sekitar panggung.

"Pilihlah saya, maka saya akan perjuangkan kepentingan kalian. Kalau saya  terpilih sebagai wakil rakyat, maka saya akan berjuang untuk rakyat. Kalian sebagai rakyat harus hidup senang dan tenang. Itu akan kalian peroleh kalau saya menang."

Suara di panggung menggelegar. Riuh suara massa ikut menggelegar. Mungkin sebelumnya sudah melalap nasi bungkus yang telah  disediakan panitia.

"Hidup  Pak Imron. Hidup Pak Imron. Pilihan kita semua. Pak Imron menang kita pasti hidup senang."

Seperti ada koordinasi suara yang sedemikian rapi. Tampak ada sosok yang berkeliling membagikan amplop putih. Entah apa isinya. Sementara Pak Imron ketika turun panggung membuang secarik kertas yang berisi kata-kata untuk dihafal saat berorasi.

Di panggung lain di gang sempit seorang penagih utang mengetuk pintu berkali-kali. Takada yang menampakkan batang hidung. Sementara di dalam kamar terdengar pelan suara seakan berbisik.

"Bilang Ibu gak ada. Lagi pergi arisan."

Bocah lelaki itu  berlari menemui sosok pria yang sedikit tampak bergaya preman. Jaket kulit dan tampang yang sengaja diseramkan.

"Bang, barusan ibu ngomong 'bilang aja ibu gak ada'. Gitu pesannya.

Si penagih itu entah bingung atau sedang setengah mabuk menanggapi.

"Tadi kamu bilang ibu gak ada, tapi kok barusan ibumu bisa pesan gak ada?"

Si bocah yang tampak polos juga bingung. "Coba aku tanya ibu lagi ya."

Ia pun hendak bergegas masuk kembali.

Sepertinya si tukang tagih sudah maklum dengan kondisi yang terjadi. Paham dengan omong kosong mereka yang sedang takbisa bayar utang.

"Sudah, sudah. Tak perlu tanya lagi. Kalau belum bisa bayar bilang aja, kenapa? Pakai bilang takada segala orangnya." 

Ia sengaja mengeraskan suaranya.

Sosok yang bersembunyi di kamar seketika merah padam wajahnya.

Di media sosial bertebaran kata-kata bijak bak seorang mahaguru yang mengatakan. Nasihat-nasihat baik bertebaran pula. Ajak-ajakan untuk berbuat kebaikan menghiasi statusnya. Kata-kata motivasi dahsyat pun layaknya seorang motivator.

Penulis bijak nan religius itu menulis: 

"Berbuat baiklah, maka pahala akan melimpah."

"Bersabarlah terhadap segala masalah dan persoalan hidup, maka kemenangan dan keridaan akan menyertai."

"Berusahalah, jangan berhenti langkah sampai tujuan telah di depan mata."

Takada yang salah dengan semua kata yang terpampang. Sungguh menginspirasi para pembaca. Tentu membawa berkah pula.

Sayang semua itu omong kosong. Kata-kata bijak tak serupa dengan perilakunya. Semua hanya kata-kata indah kutipan entah dari mana yang jadi hafalan saja.

Karena tersiar kabar sang guru nan bijak merangkap motivator itu terlibat perselingkuhan dan melakukan penipuan.

Selain itu banyak pula kata-kata caci-maki yang keluar semudah membuang ludah. Segala macam nama binatang keluar dari kandangnya.

"Dasar babi lu!"

Dibalas,"Lu bapaknya babi!"

Perang kata penuh nyali.

Menghina di sana-sini. Bahkan kepala negara pun tak ragu dihina. 

Ada yang berujar,"Presiden dungu. Turunkan."

"Presiden bodoh takada prestasi." Seakan dirinya paling pintar seluruh negeri dengan segudang prestasi.

Ketika polisi bertindak. Penjara sudah menanti. Mereka yang tadinya beringas jadi sesak napas di layar kaca sambil terisak meminta maaf dan ampun. Air mata mengalir tiada tertampung.

Artinya semua keberanian dan nyali yang hadir di media sosial selama ini sekadar omong kosong belaka. Akal sehat entah di mana. 

Ada pula pedagang yang mempermainkan harga dan timbangan. Sebelum membuka toko ia sudah bersembah sujud minta ampunan.

Suatu siang datang pembeli yang hendak menunjukkan kecurangan.

"Pak, tadi saya beli beras lima kilo, kenapa sampai di rumah saya timbamg hanya empat setengah kilo?"

Pedagang masih berusaha berkilah,"Mungkin bocor di jalan."

Pembeli berkeyakinan. "Tidak. Kantongnya masih utuh. Lubang sekecil jarum pun takada."

"Oh, ini pasti timbamgan Bapak yang rusak." Pedagang masih membela diri. Berbalik menyalahkan.

"Tidak, Pak. Timbangannya tidak ada masalah. Buktinya untuk menimbang yang lain pas semua."

Akhirnya pedagang mengalah sekaligus hendak mengakui kecurangannya.

"Ya, sudah. Ini saya tambahkan sekilo lagi. Mungkin tadi saya yang salah timbang. Namanya juga manusia pasti ada salahnya, kan?"

Begitu mudah perkara selesai. Pembeli mendapat bonus setengah kilo, pedagang curang tak kehilangan muka. Begitulah kecurangan akan terus berlanjut.

Di antara kegelapan malam dua bocah berlarian mencari tempat berteduh di bawah jalan layang karena kehujanan.

Sebelum itu salah satunya menemukan sesuatu yang terjatuh dari pengendara motor di persimpangan jalan ketika lampu merah sedang menyala.

Tanpa pikir panjang bocah itu mengembalikan ke pemiliknya. Saat itu si pemilik malah curiga. Kenapa si bocah memberikan sesuatu padanya.

Sesaat lampu hijau menyala ia baru sadar ketika  melihat sesuatu itu adalah dompet miliknya. 

Ia hanya bisa melihat si bocah berlarian sementara bunyi klakson di belakang saling bersautan.

"Kenapa kamu kembalikan dompet itu? Kamu yang menemukan itu sudah rezekimu." Temannya mengingatkan masih dengan napas terengah-engah.

"Tidak. Itu bukan milikku. Bukan rezekiku. Rezeki itu mesti halal dari usaha." Si bocah yang bernama Iman berkukuh dengan apa yang telah ia lakukan.

"Mbahku selalu berpesan jangan mengambil sesuatu yang bukan milikmu. Walaupun kamu tidak punya apa-apa. Aku selalu ingat itu."

Inilah dunia. Si bocah yang hanya bisa berteduh di bawah jalan layang masih merasa malu mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Sementara itu mereka yang sudah berkelimpahan uang tanpa malu-malu mencuri uang rakyatnya.

Mereka yang mengerti ilmu agama dan berpendidikan pamer omong kosong di media sosial, sementara bocah-bocah yang masih menjaga kejujuran tersembunyi dari kehidupan. Jadi berita hanya ketika ada yang  mati kelaparan. 

@dibiliksepi, 14 November 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun