Tatkala matahari sudah mulai sedikit meninggi terdengar inggar binggar suara massa di depan panggung. Rupanya sedang ada panggung politik. Suara musik dangdut dengan irama asyik membuat massa bergoyang. Mana tahan.
Tak lama kemudian tampil sosok gagah dengan kacamata hitam sebagai penunjang penampilan. Wajahnya persis dengan yang ada di beberapa baliho yang terpasang di sekitar panggung.
"Pilihlah saya, maka saya akan perjuangkan kepentingan kalian. Kalau saya  terpilih sebagai wakil rakyat, maka saya akan berjuang untuk rakyat. Kalian sebagai rakyat harus hidup senang dan tenang. Itu akan kalian peroleh kalau saya menang."
Suara di panggung menggelegar. Riuh suara massa ikut menggelegar. Mungkin sebelumnya sudah melalap nasi bungkus yang telah  disediakan panitia.
"Hidup  Pak Imron. Hidup Pak Imron. Pilihan kita semua. Pak Imron menang kita pasti hidup senang."
Seperti ada koordinasi suara yang sedemikian rapi. Tampak ada sosok yang berkeliling membagikan amplop putih. Entah apa isinya. Sementara Pak Imron ketika turun panggung membuang secarik kertas yang berisi kata-kata untuk dihafal saat berorasi.
Di panggung lain di gang sempit seorang penagih utang mengetuk pintu berkali-kali. Takada yang menampakkan batang hidung. Sementara di dalam kamar terdengar pelan suara seakan berbisik.
"Bilang Ibu gak ada. Lagi pergi arisan."
Bocah lelaki itu  berlari menemui sosok pria yang sedikit tampak bergaya preman. Jaket kulit dan tampang yang sengaja diseramkan.
"Bang, barusan ibu ngomong 'bilang aja ibu gak ada'. Gitu pesannya.
Si penagih itu entah bingung atau sedang setengah mabuk menanggapi.