"Ya, sudah. Besok jangan terlambat lagi. Berangkat lebih pagi." Pak guru mempersilakan Andi masuk. Ia melangkah masuk dengan senyum penuh kemenangan atas omong kosongnya.Â
Andi setiap malam keasyikan main gim daring  sampai tengah malam. Terlambat bangun. Macet jadi alasan sakti. Ternyata sukses.
Pak guru juga tak hendak banyak cakap atau mempertanyakan alasan Andi yang tak pernah berubah. Mungkin pak guru sudah paham karena ia pernah melakukan hal yang sama. Ketika masih sekolah.
Bisa jadi  sekarang zaman semua sepakat bahwa kemacetan adalah biang kerok keterlambatan. Bukan hanya anak-anak sekolah, tetapi juga bagi para pekerja.Â
"Kenapa terlambat kamu, Din?" tanya atasan tempat Didin bekerja di pusat kota.
Pura-pura dengan wajah memelas Didin menjawab, "Aduh, Pak. Jalanan macet banget. Padahal pagi-pagi saya udah berangkat."
"Kamu kan bawa motor, kok masih bisa kena macet." Sang atasan masih berusaha menyelidiki.
"Biasa Senin, Pak. Macetnya padat. Jangankan motor, orang yang jalan kaki aja susah lewat." Didin pun berusaha meyakinkan.
Kenyataannya semalam Didin keasyikan berbalas pesan dengan cewek yang baru dikenalnya di media sosial Komporsiana. Media sosial pertemanan lokal yang sedang naik daun.
Terlambat. Katakan macet. Akan hadir anggukan kepala atau paling sedikit tanya. Entah takpercaya atau sekadar basa-basi. Solusi atas segala kemacetan adalah terlambat sepertinya sudah menjadi gaya hidup.
Entah sudah berapa banyak petisi dan orasi soal kemacetan di ibu kota negara. Namun, sampai hari ini kemacetan tak pernah reda. Kemacetan tetap menjadi bahan omong kosong semata.