Oleh: Aziz Muslim HarunaÂ
Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) merupakan instrumen fundamental dalam demokrasi lokal. Ia bukan sekadar proses rutin delapan tahunan untuk memilih pemimpin desa, melainkan wujud nyata kedaulatan rakyat di tingkat paling bawah. Desa sebagai entitas politik sekaligus administratif menjadi basis kekuasaan paling strategis, sebab dari desa lahir legitimasi sosial, politik, dan ekonomi yang menopang dinamika pemerintahan daerah hingga nasional.
Namun, di Kabupaten Sampang, perjalanan demokrasi desa telah mengalami pembelokan yang serius. Sejak 2021, Pilkades ditunda dengan alasan pandemi Covid-19. Keputusan itu pada mulanya dianggap logis, mengingat pandemi membawa keterbatasan mobilitas dan risiko kesehatan. Tetapi, perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa penundaan Pilkades bukan semata-mata berangkat dari situasi darurat kesehatan, melainkan sarat dengan motif politik dan kepentingan kekuasaan.
Dalam praktiknya, penundaan Pilkades membuka ruang bagi bupati untuk menunjuk Penjabat Kepala Desa (PJ Kades), yang kemudian menjadi instrumen politik transaksional. Fenomena ini mencerminkan state capture dan clientelism, di mana desa dikendalikan bukan sebagai arena partisipasi warga, tetapi sebagai mesin politik untuk kepentingan elektoral. Dampaknya nyata: Partai NasDem, tempat bupati bernaung, berhasil meningkatkan jumlah kursi di DPRD Sampang dari 6 menjadi 15 pada Pemilu 2024, sekaligus mengantarkan kadernya ke DPR RI berkat kontrol suara desa.
Inkonsistensi Logika Penundaan dan Transaksional Kekuasaan
Alasan resmi penundaan Pilkades pada 2021 adalah pandemi Covid-19. Pemerintah daerah merujuk pada kondisi darurat kesehatan untuk menunda proses pemilihan hingga 2025. Namun, secara epistemologis, alasan ini rapuh. Jika memang pandemi menjadi variabel utama, seharusnya penundaan tidak dibatasi tahun tertentu, melainkan mengikuti status kedaruratan kesehatan itu sendiri.
Dengan menetapkan tahun 2025 sebagai batas waktu, pemerintah daerah telah memasukkan unsur non-pandemi dalam kalkulasi kebijakannya. Hal ini sejalan dengan pandangan Guillermo O'Donnell (1994) mengenai delegative democracy, di mana pemimpin cenderung menggunakan alasan formal untuk memperluas diskresi kekuasaan di luar batas legitimasi rakyat.
Penunjukan Penjabat Kepala Desa (PJ Kades) menjadi implikasi langsung dari penundaan Pilkades. Dalam konteks teori politik, fenomena ini dapat dibaca melalui kerangka state capture (Hellman, Jones, & Kaufmann, 2000), yakni ketika kekuasaan negara dimanfaatkan oleh elite politik untuk mengendalikan institusi demi keuntungan kelompok tertentu.
Bupati sebagai pemegang kewenangan penunjukan PJ Kades memiliki ruang diskresi yang luas. Diskresi ini menciptakan pola transaksional: siapa yang direkomendasikan, siapa yang didukung, dan siapa yang kemudian loyal kepada bupati serta mentor politik di balik layar. Desa, alih-alih sebagai arena pemberdayaan dan partisipasi, justru menjadi "mesin politik" yang dikendalikan dari pusat kekuasaan kabupaten.
Fenomena ini juga bersinggungan dengan konsep clientelism (Kitschelt & Wilkinson, 2007), di mana relasi politik dibangun berdasarkan pertukaran keuntungan material dan politik antara pemimpin dengan aktor lokal. PJ Kades, dalam skema ini, berperan sebagai perpanjangan tangan bupati sekaligus broker politik yang memastikan mobilisasi suara di tingkat desa.