Mohon tunggu...
Katalis Institute
Katalis Institute Mohon Tunggu... Goresan pena lebih tajam dari pisau belati

Belajar membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Subversi Penundaan Pilkades: Bentuk Otoritarianisme Gaya Baru di Sampang

14 September 2025   16:06 Diperbarui: 14 September 2025   18:05 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Direktur katalis institute

Konsekuensi jangka panjangnya adalah hilangnya legitimasi politik. Pemerintah daerah mungkin memperoleh kemenangan elektoral, tetapi kehilangan kepercayaan sosial. Pada titik tertentu, kondisi ini berpotensi menciptakan apatisme warga desa terhadap demokrasi, atau bahkan memicu konflik politik horizontal di akar rumput.

Ancaman Jangka Panjang

Penundaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di Sampang menunjukkan bahwa proses demokrasi di tingkat desa dapat dengan mudah dimanipulasi. Meskipun alasan yang digunakan, seperti pandemi, ketidakpastian regulasi, atau moratorium politik, terlihat masuk akal, semua itu hanyalah instrumen untuk menunda hak rakyat dalam memilih pemimpin mereka. Di balik alasan-alasan tersebut, ada motif kekuasaan yang lebih dalam.

Penundaan ini mengikis kedaulatan rakyat desa. Alih-alih mendapatkan pemimpin yang dipilih secara demokratis, desa dikelola oleh pejabat yang ditunjuk. Kondisi ini membuat desa rentan dikontrol oleh elit politik yang berkuasa. Dengan menguasai desa, pihak-pihak ini bisa memastikan dukungan suara pada pemilihan umum di tingkat yang lebih tinggi, mengancam legitimasi politik nasional secara keseluruhan.

Jika manipulasi ini terus terjadi, demokrasi lokal akan runtuh. Desa menjadi semacam "mesin suara" yang dikendalikan dari atas. Dalam konteks pemilu nasional, ini berarti sebagian besar kontestasi elektoral sudah dimenangkan bahkan sebelum pertarungan dimulai. Mengendalikan desa sama dengan menguasai 80 persen basis suara, dan ini mengancam keadilan serta integritas pemilu.

Secara teoretis, fenomena ini dikenal sebagai instrumentalization of democracy. Artinya, prosedur-prosedur demokrasi hanya digunakan sebagai alat untuk memperpanjang dan memperkuat kekuasaan elit politik, bukan untuk melayani kepentingan rakyat. Alih-alih menjadi wadah partisipasi, demokrasi berubah menjadi alat manipulasi.

Pada akhirnya, yang paling menderita dari praktik ini adalah rakyat desa. Mereka harus menanggung beban politik yang bukan berasal dari pilihan mereka sendiri. Kedaulatan dan suara mereka dipinggirkan, digantikan oleh kepentingan para elit. Pertanyaannya sekarang adalah, sampai kapan rakyat desa harus terus menjadi korban dari permainan politik yang mengorbankan hak-hak dasar mereka?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun