Secara politis, situasi ini membuka celah untuk penundaan Pilkades yang lebih panjang. Ketidakpastian terkait penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) dapat dijadikan alasan untuk tidak mengalokasikan anggaran Pilkades dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2026. Bahkan, jika PP tersebut baru terbit setelah RAPBD disahkan, ketiadaan anggaran akan kembali menjadi dalih untuk menunda pelaksanaan Pilkades.
Bahkan ketika anggaran dimasukkan melalui APBD Perubahan, celah penundaan tetap terbuka melalui isu sinkronisasi dan harmonisasi peraturan, mulai dari UU Desa, PP, perda, hingga perbup. Strategi killing time ini berpotensi mendorong penundaan hingga 2028.
Jika skenario ini berjalan, maka Pilkades akan berbenturan dengan agenda politik nasional menjelang Pemilu 2029. Moratorium Pilkades oleh Kementerian Dalam Negeri dapat dijadikan dalih baru untuk menunda. Dengan begitu, bupati akan sukses mempertahankan kendali atas desa hingga 2029, yang secara politis sangat menguntungkan bagi NasDem.
Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki peran krusial. Mereka harusnya menjadi lembaga pengawas yang memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah. Namun, ada kekhawatiran bahwa DPRD justru akan melegitimasi hasrat politik penguasa dengan tidak mempertanyakan atau menuntut alokasi anggaran Pilkades.
DPRD sebagai Penjaga Kedaulatan Rakyat
DPRD seharusnya menjadi penjaga kedaulatan rakyat, bukan sekadar stempel bagi kebijakan eksekutif. Dengan membiarkan anggaran Pilkades tidak dialokasikan, DPRD secara tidak langsung turut serta dalam mengabaikan hak politik masyarakat desa. Ini adalah pengingat bahwa fungsi DPRD adalah mewakili kepentingan rakyat, bukan melegitimasi manuver politik segelintir elit.Â
Oleh karena itu, masyarakat memiliki peran krusial. Jika masyarakat tidak menuntut haknya, praktik semacam ini akan terus berlanjut. Pilkades yang ditunda hingga 2029 akan menjadi bukti nyata bahwa faktor politik jauh lebih dominan daripada aspirasi rakyat. Sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa kekuasaan sesungguhnya ada di tangan mereka, dan harus digunakan untuk menuntut keadilan.
Apabila masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tidak peduli, maka Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) berpotensi baru akan diselenggarakan setelah Pemilu 2029. Hal ini karena penundaan tersebut lebih didasari oleh motif politik yang kuat, bukan karena masalah hukum atau birokrasi.
Situasi ini menciptakan regresi serius terhadap demokrasi partisipatoris. Hak rakyat desa untuk memilih pemimpin secara langsung digantikan dengan logika transaksional, yang berpotensi melahirkan apatisme politik maupun konflik horizontal. Dalam kerangka akademis, penundaan Pilkades di Sampang adalah bentuk instrumentalization of democracy, di mana prosedur demokrasi dimanipulasi untuk memperkuat dominasi kekuasaan.
Apa yang terjadi di Sampang tidak bisa dipandang sekadar teknis administratif. Ini adalah bentuk pemangkasan hak politik rakyat desa. Demokrasi desa dipasung melalui strategi penundaan dan penunjukan PJ Kades. Hak warga untuk memilih pemimpin secara langsung dikorbankan demi kalkulasi elektoral elit politik.
Jika menggunakan perspektif demokrasi partisipatoris (Pateman, 1970), situasi ini merupakan regresi serius. Desa yang seharusnya menjadi arena pendidikan politik justru menjadi laboratorium kontrol kekuasaan. Partisipasi warga tidak hanya dikebiri, tetapi juga digantikan dengan logika transaksional.