Ketika Roh Tak Lagi Diam: Menelusuri Jejak Moral di Alam Abadi
"Kematian hanyalah gerbang. Di seberangnya, bukan akhir—melainkan cermin dari seluruh hidup kita."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Nafas Terakhir, Awal yang Baru
Angin senja menelusupkan dingin yang tak biasa. Di suatu petang yang biasa, Salim melangkah pulang dari kantornya. Tak ada yang menyangka, itu adalah langkah terakhirnya di dunia. Sebuah tabrakan, sekejap kegelapan, dan kemudian… terang yang asing. Inilah awal dari Perjalanan ke Akhirat, novel religius-filosofis karya Djamil Suherman yang pertama kali diperkenalkan ke publik sebagai cerita bersambung di majalah Sastra edisi 1962, lalu diterbitkan sebagai novel pada 1963 oleh NV Nusantara. Dalam kepiawaian menulisnya, Djamil menghadirkan narasi puitis tentang ruh, pertanggungjawaban moral, dan keabadian—membawa kita mengarungi suatu dunia yang hanya dibayangkan oleh keimanan.
Ketertarikan saya pada novel ini bukan hanya karena keberaniannya mengangkat tema yang terbilang langka dalam sastra Indonesia—yaitu tentang alam akhirat—tetapi karena novel ini berhasil menjembatani tafsir religius dengan dramatika kehidupan manusia secara mendalam dan penuh penghayatan. Djamil Suherman menciptakan ruang naratif yang tak hanya menghidupkan dunia setelah kematian, tapi juga menjadikannya cermin reflektif untuk menilai hidup yang kita jalani hari ini. Novel ini adalah suara dakwah dalam bentuk sastra; sekaligus protes lembut terhadap kebebasan tanpa arah yang menjauh dari nilai spiritualitas.
Relevansinya pun kian tajam dalam konteks kekinian, ketika kehidupan modern kerap terjerat dalam hedonisme, relativisme moral, dan hampa spiritual. Novel ini menjadi pengingat bahwa manusia bukan sekadar makhluk sosial, tetapi juga spiritual. Perjalanan ke Akhirat adalah perenungan atas konsekuensi dari setiap tindakan kita di dunia fana dan peluang untuk berpulang dengan makna.
Sinopsis Novel Perjalanan ke Akhirat
Salim, seorang pegawai biasa, mengalami kecelakaan tragis dan mendadak mendapati dirinya dalam bentuk roh yang menyaksikan tubuhnya sendiri terbujur kaku. Dalam wujud rohani, ia mengembara, menyaksikan duka lara ibunya dan sang istri, Salamah. Kesedihan mendalam mendorong Salamah pada keputusan fatal: bunuh diri. Salim menyaksikan semua itu tanpa daya, hanya bisa memohon dalam sunyi.
Dalam perjalanan menuju akhirat, Salim menjumpai makhluk-makhluk rohani dan tokoh spiritual seperti Nabi Adam serta malaikat Munkar dan Nakir. Ia pun menyaksikan tafakur agung dan kedahsyatan keadilan Tuhan. Di Padang Mahsyar, Salim menyaksikan manusia datang dengan rupa-rupa yang mencerminkan amalnya. Beberapa manusia bahkan berkepala binatang—simbol dari watak buruk mereka semasa hidup.
Konflik memuncak ketika Salamah harus mempertanggungjawabkan dosa bunuh dirinya. Sosok Kasim, seniman murtad, ternyata menjadi penyebab utama kemerosotan iman Salamah. Di hadapan pengadilan akhirat, Kasim dijatuhi hukuman berat, sementara Salamah hanya bisa tertunduk. Cinta Salim tak mampu mengubah vonis.
Namun cinta lain yang lebih besar datang dari ibunya. Dengan kasih dan doa yang tulus, ibu Salamah memohonkan ampun bagi anaknya. Mukjizat cinta seorang ibu pun mengubah takdir. Salim, Salamah, dan ibunya mendapat pengampunan, melanjutkan perjalanan ke akhir yang damai—lewat penghakiman yang bukan sekadar adil, tapi juga penuh kasih.
Di akhir novel, pembaca diajak merenungi bahwa kehidupan bukanlah titik, melainkan serangkaian sebab-akibat yang saling mengikat antara dunia dan akhirat. Salim, tokoh utama, bukan sekadar narator pasif, melainkan jiwa yang belajar dari perjalanan itu: tentang dosa, keikhlasan, cinta, dan pengampunan.
1. Religiusitas sebagai Jantung Cerita
Djamil Suherman tidak sekadar menulis novel spiritual, ia menancapkan jantung religiusitas sebagai inti dari Perjalanan ke Akhirat. Kepercayaan pada hari kiamat—rukun iman kelima dalam Islam—diangkat dengan serius sebagai tema utama. Namun, Djamil tidak menggurui. Ia memilih untuk bercerita, membiarkan pembaca menyelami nilai-nilai keimanan melalui pengalaman batin tokoh Salim.
Latar dan suasana dunia akhirat digambarkan dengan simbolik dan imajinatif, menampilkan suasana padang luas, langit berlapis, hingga wajah-wajah penuh penyesalan. Semua menjadi metafora tentang tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan. Kehadiran tokoh-tokoh seperti Nabi Adam dan para malaikat menambah bobot spiritualitas novel ini.
Melalui pengalaman Salim, pembaca dibimbing untuk merefleksikan amal perbuatan, bukan sebagai beban, tetapi sebagai konsekuensi dari pilihan hidup. Religiusitas di sini tidak hanya sebagai atribut ibadah, tetapi sebagai etika dalam bertindak. Pesan moral Djamil sederhana: jangan tunggu kematian untuk sadar.
2. Kritik terhadap Kebebasan tanpa Norma
Tokoh Kasim dalam novel ini mewakili sosok intelektual modern yang mengagungkan kebebasan mutlak. Sebagai seniman, ia menolak norma ketuhanan demi ekspresi personal. Ini adalah kritik tajam Djamil terhadap arus pemikiran yang mengabaikan nilai-nilai spiritual dalam proses kreatif dan kebebasan berpikir.
Kasim, meski cerdas, justru menjadi penyebab kehancuran iman Salamah. Melalui karakter ini, Djamil memperlihatkan bahwa kebebasan tanpa batas dapat menjadi racun, terutama bila tak diiringi tanggung jawab moral. Kebebasan berpikir bukanlah kebebasan dari nilai, tapi kebebasan yang diikat oleh kesadaran etis.
Konflik antara Kasim dan sistem nilai religius menunjukkan upaya Djamil mengajak pembaca untuk mengevaluasi ulang arah kebudayaan modern. Apakah kita ingin menjadi manusia yang merdeka atau sekadar bebas tanpa arah? Novel ini menjawab dengan tegas bahwa moralitas adalah syarat mutlak kebebasan sejati.
3. Peran Cinta sebagai Jembatan Pengampunan
Salah satu kekuatan emosional novel ini terletak pada cinta yang tak terbatas: cinta ibu pada anaknya. Ketika Salamah menghadapi vonis berat atas dosa bunuh dirinya, ibunya tampil sebagai pahlawan sejati. Doa-doanya menjadi jembatan yang menyelamatkan jiwa Salamah dari siksa abadi.
Djamil memperlihatkan bahwa cinta dalam bentuk paling murni—pengorbanan seorang ibu—memiliki kekuatan metafisis. Ini bukan sentimentalitas murahan, tapi pengakuan bahwa cinta adalah kekuatan spiritual yang konkret dalam logika Tuhan. Bahkan sistem keadilan akhirat tidak lepas dari kasih sayang.
Pesan ini sangat relevan bagi zaman sekarang: ketika relasi antaranggota keluarga kian terfragmentasi oleh dunia digital, novel ini menjadi pengingat bahwa cinta dan doa adalah bentuk dukungan yang tak terlihat namun nyata, bahkan melampaui batas kehidupan.
4. Representasi Keadilan Ilahi dan Dosa Sosial
Dalam novel ini, keadilan Ilahi digambarkan tidak hanya menghitung amal secara individual, tetapi juga memperhatikan relasi sosial dan dampak moralnya. Dosa tidak semata-mata perbuatan personal, melainkan akumulasi pengaruh sosial dan pilihan kolektif.
Keadilan di akhirat tidak digambarkan kaku atau mekanistis. Ada ruang bagi pembelaan, ada pertimbangan niat, dan bahkan ada pemaafan. Dialog antara jaksa dan pelaku dosa bukan hanya proses hukum, tetapi juga proses batin. Ini mengingatkan bahwa dalam agama, pengadilan Tuhan tidak memisahkan hukum dan kasih.
Dengan gaya ini, Djamil mengajak pembaca untuk lebih peka terhadap tanggung jawab sosial. Bahwa setiap dosa punya jejak sosial: kata yang menyakitkan, pengaruh negatif, sikap abai. Di Padang Mahsyar, semua jejak itu bersuara.
5. Simbolisme dan Mistisisme dalam Narasi
Penggunaan simbol-simbol spiritual dalam novel ini sangat kuat: manusia berkepala binatang, pintu-pintu langit, lautan manusia berseru cemas, hingga ruang pengadilan akhirat. Djamil tidak menjelaskan semuanya secara literal, melainkan membiarkan simbol itu hidup dalam interpretasi pembaca.
Mistisisme ini memperkaya lapisan narasi dan mempertegas bahwa akhirat bukan ruang material, melainkan ruang kesadaran tertinggi. Dengan cara ini, Djamil memadukan ajaran sufistik dan narasi profetik menjadi novel yang tidak hanya religius tetapi juga filosofis.
Simbol-simbol ini menuntut kepekaan interpretatif. Pembaca diajak menjadi penafsir, bukan hanya penikmat cerita. Maka, novel ini bukan hanya kisah satu orang, tapi juga cermin dari jiwa setiap pembacanya.
Keunggulan dan Kelemahan: Antara Kekuatan Narasi dan Beban Filsafat
Secara intrinsik, kekuatan utama novel ini terletak pada gaya naratif yang lugas namun penuh kedalaman. Penokohan Salim sangat hidup dan reflektif; konfliknya jelas, berlapis, dan progresif. Latar dunia akhirat digambarkan dengan kuat, tak hanya sebagai tempat, tapi juga suasana batin dan nilai spiritual. Alur ceritanya linier tetapi mengandung kilas balik emosional yang menyentuh. Dialog-dialognya, terutama dengan tokoh-tokoh spiritual, menciptakan ruang kontemplasi tanpa harus didaktik.
Ekstrinsiknya, novel ini merupakan tonggak penting dalam genre sastra keagamaan Indonesia. Sebagai penulis Muslim, Djamil tidak hanya mengajarkan agama, tapi menghidupkan pengalaman iman dalam bentuk karya sastra. Pengaruh pemikiran Iqbal dan filsafat Islam modern terasa dalam diskusi antara Birman dan jaksa. Kritik terhadap modernitas, penggambaran akhirat yang humanistik, serta nilai-nilai sufistik menjadikan karya ini tidak hanya indah, tapi juga kaya secara intelektual.
Namun demikian, beban filsafat dan simbolisme yang berat bisa menjadi tantangan. Tidak semua pembaca dapat mencerna diskusi antara moral, estetika, dan teologi yang disuguhkan Djamil. Tempo alur yang lambat, terutama di bagian awal akhirat, bisa membuat beberapa pembaca kehilangan fokus. Sebagian percakapan metaforis juga menuntut pembaca yang terbiasa dengan dunia tasawuf dan filsafat Islam.
Penutup: Menuju Akhir yang Tak Pernah Usai
Novel Perjalanan ke Akhirat adalah mahakarya yang menuntun pembaca bukan sekadar mengenal akhirat, tetapi memahami hidup. Djamil Suherman telah membuka tabir kematian tidak sebagai horor, melainkan sebagai ruang penilaian—tempat keadilan bertemu kasih, tempat cinta menebus dosa, dan tempat manusia menyadari bahwa setiap langkah di dunia, seberapapun kecil, akan bersuara di kehidupan abadi.
Seperti kata Djamil melalui sosok Salim, “Manusia tak akan pernah tahu arti hidup, sebelum ia berdiri di hadapan penghakiman yang tak bisa dibohongi.”
Daftar Pustaka
Suherman, Djamil. 1963. Perjalanan ke Achirat. Bukittinggi: NV Nusantara.
Rosidi, Ajip. 1969. Ikhtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Mahayana, Maman S., dkk. 1992. Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo.
Mohammad, Goenawan. 1969. Antologi Esei tentang Persoalan Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI