Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Ketika Roh Tak Lagi Diam: Menelusuri Jejak Moral di Alam Abadi

23 Juli 2025   22:12 Diperbarui: 23 Juli 2025   22:12 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Kematian hanyalah gerbang. Di seberangnya, bukan akhir—melainkan cermin dari seluruh hidup kita." (Dok. Goodreads)

Namun cinta lain yang lebih besar datang dari ibunya. Dengan kasih dan doa yang tulus, ibu Salamah memohonkan ampun bagi anaknya. Mukjizat cinta seorang ibu pun mengubah takdir. Salim, Salamah, dan ibunya mendapat pengampunan, melanjutkan perjalanan ke akhir yang damai—lewat penghakiman yang bukan sekadar adil, tapi juga penuh kasih.

Di akhir novel, pembaca diajak merenungi bahwa kehidupan bukanlah titik, melainkan serangkaian sebab-akibat yang saling mengikat antara dunia dan akhirat. Salim, tokoh utama, bukan sekadar narator pasif, melainkan jiwa yang belajar dari perjalanan itu: tentang dosa, keikhlasan, cinta, dan pengampunan.

1. Religiusitas sebagai Jantung Cerita

Djamil Suherman tidak sekadar menulis novel spiritual, ia menancapkan jantung religiusitas sebagai inti dari Perjalanan ke Akhirat. Kepercayaan pada hari kiamat—rukun iman kelima dalam Islam—diangkat dengan serius sebagai tema utama. Namun, Djamil tidak menggurui. Ia memilih untuk bercerita, membiarkan pembaca menyelami nilai-nilai keimanan melalui pengalaman batin tokoh Salim.

Latar dan suasana dunia akhirat digambarkan dengan simbolik dan imajinatif, menampilkan suasana padang luas, langit berlapis, hingga wajah-wajah penuh penyesalan. Semua menjadi metafora tentang tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan. Kehadiran tokoh-tokoh seperti Nabi Adam dan para malaikat menambah bobot spiritualitas novel ini.

Melalui pengalaman Salim, pembaca dibimbing untuk merefleksikan amal perbuatan, bukan sebagai beban, tetapi sebagai konsekuensi dari pilihan hidup. Religiusitas di sini tidak hanya sebagai atribut ibadah, tetapi sebagai etika dalam bertindak. Pesan moral Djamil sederhana: jangan tunggu kematian untuk sadar.

2. Kritik terhadap Kebebasan tanpa Norma

Tokoh Kasim dalam novel ini mewakili sosok intelektual modern yang mengagungkan kebebasan mutlak. Sebagai seniman, ia menolak norma ketuhanan demi ekspresi personal. Ini adalah kritik tajam Djamil terhadap arus pemikiran yang mengabaikan nilai-nilai spiritual dalam proses kreatif dan kebebasan berpikir.

Kasim, meski cerdas, justru menjadi penyebab kehancuran iman Salamah. Melalui karakter ini, Djamil memperlihatkan bahwa kebebasan tanpa batas dapat menjadi racun, terutama bila tak diiringi tanggung jawab moral. Kebebasan berpikir bukanlah kebebasan dari nilai, tapi kebebasan yang diikat oleh kesadaran etis.

Konflik antara Kasim dan sistem nilai religius menunjukkan upaya Djamil mengajak pembaca untuk mengevaluasi ulang arah kebudayaan modern. Apakah kita ingin menjadi manusia yang merdeka atau sekadar bebas tanpa arah? Novel ini menjawab dengan tegas bahwa moralitas adalah syarat mutlak kebebasan sejati.

3. Peran Cinta sebagai Jembatan Pengampunan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun