Lintang Kemukus Dini Hari: Ronggeng, Perempuan, dan Luka Sejarah yang Tak Pernah Usai
"Aku bukan milik Dukuh Paruk, tapi luka-luka dari sana tak pernah selesai di tubuhku."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Dini hari menyelimuti Dukuh Paruk dengan kabut lembab yang menggantung seperti rahasia yang tak kunjung terucap. Di kejauhan, suara gamelan tua masih samar terdengar dari balik pepohonan yang dulu menjadi saksi pentas ronggeng. Aroma tanah basah dan bara kayu bekas dapur menyusup ke setiap sudut rumah bambu. Di tengah sunyi itu, Srintil duduk termangu di serambi, matanya menatap kosong ke arah makam Ki Secamenggala yang perlahan terkubur semak. Tak ada yang benar-benar tinggal di Dukuh Paruk kini, kecuali kenangan dan luka-luka yang mengendap.
Lintang Kemukus Dini Hari, novel kedua dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, tak sekadar menutup kisah Srintil, tapi mengabadikan kepedihan sejarah, tubuh perempuan, dan bayang-bayang kekuasaan dalam satu tarikan napas. Dalam lanskap Indonesia tahun 1960-an yang penuh gejolak, Srintil menjadi saksi hidup yang diam dan luka yang terus berdarah.
Dalam realitas pasca-G30S, Ahmad Tohari memotret sisi terdalam dari penyintas yang kehilangan suara: mereka yang dituduh, dipenjara, diasingkan, lalu dibungkam oleh sejarah. Lintang Kemukus bukan hanya catatan kesenian ronggeng dan tragedi politik, tapi juga renungan eksistensial: bagaimana perempuan, tubuh, dan harga diri dipertaruhkan di tengah ambisi ideologi dan represi.
Sinopsis Novel  Lintang Kemukus Dini Hari
Dukuh Paruk kehilangan cahaya. Rasus, satu-satunya lelaki yang membuat Srintil merasa lebih dari sekadar ronggeng, pergi tanpa pamit. Kepergian itu merenggut keteguhan Srintil. Ia tak lagi naik pentas, menolak disentuh lelaki, dan menepi dari kehidupan yang dulu menjadikannya pusat perayaan. Masyarakat geger, Nyai Kartareja risau, tapi Srintil telah mengambil satu keputusan sunyi: menjadi perempuan yang berdaulat atas tubuh dan hatinya.
Ketika ronggeng tak lagi menjadi panggilan jiwa, Srintil justru ditarik kembali oleh lingkaran hasrat dan kekuasaan. Marsusi, seorang mandor perkebunan, mencoba membeli cintanya dengan kalung emas. Tapi Srintil menolak, bahkan ketika itu berarti dimusuhi Nyai Kartareja. Ia memilih diam dan sakit, menggantungkan kasih sayang pada seorang bocah bernama Goder. Namun jalan sunyi tak membuat hidupnya tenang. Ia terus bergulat dengan bayang-bayang masa lalu, seakan tak pernah benar-benar lepas dari tubuh yang pernah dijadikan alat oleh desa dan para lelaki.