Mohon tunggu...
Kang Marakara
Kang Marakara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengangguran Terselubung

Belajar dan mengamalkan.hinalah aku,bila itu membuatmu bahagia.aku tidak hidup dari puja-pujimu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Puisi | Politik dalam Sebuah Diksi

1 Januari 2020   20:16 Diperbarui: 1 Januari 2020   20:24 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wangi teh melati terasa sumbang ketika aromanya membentur kaki meja, wajah-wajah beku tanpa perasaan menggarap pidato terus berkobar. Siang dan malam menjadi pertanda kehidupan, denyut nadi bergetar mengikuti bandul kekuasaan. Hari ini atau nanti, saat ramai apalagi sendiri, tujuan mengabdi hanya bagi sebuah kursi, tak lebih dari sebuah tempat mendaki semua hasrat untuk memiliki, semua yang bernyawa harus tunduk di bawah kaki

Harga diri telah lama terkubur mati, hati tak lagi merah apalagi putih, isi kepala bergemuruh karena penuh taktik dan trik canggih. Siapa yang bernalar sehat jangan mendekat, siapa yang masih yakin kuasa tuhan hindarkan semakin intim. Tuhan dan setan di sembah hampir bersamaan, halal dan haram bermakna tipis sesuai kepentingan. 

Dalam gelap politik bercahaya, walau sinarnya lebih sering membakar amarah. Dalam terang politik meneduhkan, walau kabut tipis yang menyelubungi terasa pekat menyesatkan.

Dalam kata-kata politik bermakna manis bagai madu dari syurga, tapi dalam dunia nyata, ia adalah jelmaan racun dari muntahan iblis yang menyengsarakan. Mulut manis  beracun dan berulat, janji manis menikam ketika lengah dari kewaspadaan.

Bagan batu 1 januari 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun