Van Ham tertawa. "Aku ditembak oleh Made, seperti nenek moyangku di Lombok oleh orang Bali juga."Â
Dia  sempat melihat Daus sedang membersihkan rencongnya dengan santai. Herlanda lega. Sahabatnya itu tidak ke Sumatera.
Van Ham memberikan acungan jempol sebelum akhirnya meninggal. Â Tandanya dia sportif mengakui kehebatannya bisa masuk ke jebakannya tanpa diketahuinya. Herlanda memeluk Daus.
"Iya, aku sudah sayang sama Kinan, sama Widy dan kamu juga Herlanda," ucap Daus. "Kalian keluarga baruku. Sudah tiga hari ini aku mengintai mereka dan tahu rencana menjebak kalian."
Satu masalah selesai. Namun Herlanda belum tahu apakah dia akan dikirim juga keluar Jawa dan tidak ada jaminan suatu ketika perasaan Daus akan goyah.
Depok, Cinere, Sabtu 17 Januari 2015
Perang saudara menurut aku adalah perang yang paling buruk. Ayahku pernah bercerita ketika dia mahasiswa bersama rombongan yang dikawal tentara ditembaki dari atas sebuah bukit, tidak terlalu ingat, tetapi mungkin Lembah Anai. Belakangan aku dapat cerita seorang  saudara ibu pernah ikut PRRI dan mungkin ikut menembaki.  Mana dia tahu ada iparnya di bawah kelak.
Hari ini di Bioskop 21 Cinere nonton  Di Balik 98. Kisah fiksi tentang peristiwa reformasi. Seorang mahasiswi Trisakti berseberangan dengan suami kakaknya yang tentara, yang hanya menjalankan tugas dan mungkin paham politik, tetapi tidak berdaya.
Kalau saja Soeharto tidak mengundurkan diri dan bersisikukuh mempertahankan kekuasaannya seperti halnya Sukarno pada 1966, bisa jadi Indonesia dilanda perang saudara yang lebih hebat dari PRRI/Permesta. Tapi kedua  founding father itu menyadari hal itu.
"Pilpres kemarin juga membelah kawan-kawanku di media sosial," ujar Gendhis yang ikut menemaniku menonton. Tetapi misi lebih menanyakan sejauh mana aku membuat cerita tentang perempuan bernama Widi.
"Aku kemarin abstain," ucapku.