Selamat Jalan Kawan Sampai kita Berjumpa Lagi
Bandung, Kampus Unpad, Â Selasa 11 Maret 1958, Setelah Tengah Hari
"Widy!"  panggil Letnan Satu Herlanda datang tergopoh-gopoh di koridor gedung Kampus Unpad.  Wajahnya  tampak cemas sekali. Â
Widy yang ada bersama Myrna dan dua orang kawan sekampus  lainnya, baru saja selesai kuliah hendak makan siang. Tak biasanya Herlanda menyambanginya di kampus.Â
Selain pekerjaannya tidak memungkinkan sejak menikah dengan Syafri, sepupunya tidak pernah ikut campur dalam urusannya, kecuali mengalami masalah dengan keamanannya. Â
"Daus menghilang dari markas.  Kemarin  dua  serdadu asal Riau dan Sumatera Utara tidak kembali ke barak, dipastikan desersi. Aku khawatir Daus akhirnya terpancing pulang ke Sumatera."
Widy bingung mengapa dia ditanya. "Iya, sudah dua hari itu dia tidak ke rumah, malah Kinan nanya terus. Aku pikir dia ikut operasi ke Garut bersama Kang Harland."
"Bapakku bilang perang saudara pasti meletus, sudah ada tentara dikirim ke Riau mengamankan sumur minyak agar Amerika tidak punya alasan melakukan intervensi," timpal Myrna.
"Aku juga diusulkan ke Sumatera atau Sulawesi. Tapi aku bilang lebih suka menghadapi gerombolan di Garut. Bagaimana pun juga kerabat Syafri ada yang ikut ke sana."
Seorang kawan Widy mengusulkan mereka ke warung makan yang ada dekat kampus. Â Herlanda rupanya sudah lapar memesan nasi dua porsi dan dua potong ayam goreng. Dia membayar makan sepupu dan kawan-kawannya.Â
"Petualang Amerika mendrop senjata dan granat untuk orang-orang Permesta Februari lalu," ucap Herlanda. "Pasti banyak tentara dibutuhkan ke sana. Ini lebih serius dari  Darul Islam."
"Aku nggak bisa bayangkan Kang, kalau ke Sumatera Barat misalnya membidik senapan ke orang-orang PRRI, ternyata  yang kena Medina atau kerabatnya Syafri. Mungkin juga Bang Daus. Atau ke Minahasa bertempur dengan Rinitje. Mereka juga tidak tahu Kang Herlanda di antara tentara pusat yang datang."
"Malah Daus sering menyelamatkan nyawaku. Ironis sekali aku menembak dia hingga meninggal," ucap Herlanda.
"Malah mau puasa lagi," kata Myrna.
Wanaraja, Garut, 11 Maret 1958, malam hari
Letnan Satu Herlanda  bersama satu peleton tentara didrop untuk membebaskan sebuah desa yang diduduki suatu gerombolan bersenjata.  Mereka diberangkatkan dari Bandung sore itu. Herlanda merasa lega tidak ditugaskan ke Sumatera atau Sulawesi.
"Kalau ini jelas musuh.  Kalau ke Sumatera atau Sulawesi bisa jadi teman kita juga masuk tentara," kata Sersan Satu  Made Ardana Yasa yang seolah tahu perasaan Herlanda.Â
"Apa lagi itu!" Â Dia menunjuk seorang bule di antara gerombolan itu dari jarak lima ratus meter. "Scmith? Desertir Belanda yang gabung dengan Kartosuwiryo?"
"Nggak itu Van Ham buruanku. Firasatku nggak beres semudah itu agar dirinya ditemukan berdasarkan informasi warga desa yang dilepasnya dan dia tidak kabur begitu? Tapi ini perintah."
Mereka membagi dua formasi. Yang satu dipimpin Peltu Jajang bergerak ke kiri mengepung desa.  Van Ham bahkan membiarkan  dirinya tampak di bawah nyala obor dan dia tertawa-tawa lalu masuk ke dalam sebuah rumah. Dia sepertinya tahu diintai dan masih terlalu jauh untuk ditembak.Â
Pasukan Jajang bergerak lebih dulu dan menyergap tiga penjaga, dalam tembak menembak ketiganya jatuh tanpa ada korban di pihak TNI.
Tetapi mereka tidak menemukan tentara lain, termasuk ketika pintu rumah didobrak. Â Jajang memberi isyarat nihil.
Herlanda dengan geram ikut menyerbu ke desa yang memiliki belasan rumah. Â Ternyata ada pintu lain di rumah itu.Â
Dari rumah lain, tiga anggota gerombolan tiba-tiba melepas tembakan. Â Seorang anggota TNI nyaris terkena tembakan namun Herlanda, Made dan Jajang bisa menjatuhkan mereka.Â
Tiba-tiba dari sebuah rumah, Van Ham muncul bersama beberapa anak buahnya menembakan pistol. Â Seorang serdadu TNI terkena tembakan di bahunya hingga senjatanya terlepas. Van Ham sudah berapa tiga meter dari Herlanda.
"Kejutan Letnan Herlanda," ucapnya tertawa bersama dua anak buah yang lain sudah mengepung Herlanda, Made dan Jajang. Â
Beberapa serdadu terpaksa menahan diri dan ada yang terlalu dekat ditodong senjata.
"Mana itu kawan kamu yang berangasan itu!  Aku ingin tahu Herlanda tanpa orang Aceh itu  seperti apa, apa masih bisa menyusahkan kami," Van Ham terkekeh-kekeh.
Sebuah parang melayang dari atas pohon menusuk bahu seorang dari gerombolan itu. Van Ham terkejut, kesempatan ini digunakan Made untuk menembak Van Ham tepat di dadanya dan Herlanda menembak dua anggota gerombolan lain.
Dari atas pohon seseorang menembaki gerombolan, rupanya dia sudah dari tadi di atas pohon tanpa ketahuan.
Separuh gerombolan melarikan diri, meninggalkan lebih dari sepuluh terkapar. Sementara di pihak TNI, seorang tertembak di kakinya.
Seorang anggota gerombolan masih ada mencoba membidikan Herlanda, tapi yang dari atas pohon, Daus melompat dengan rencongnya menusuk lehernya.
Van Ham tertawa. "Aku ditembak oleh Made, seperti nenek moyangku di Lombok oleh orang Bali juga."Â
Dia  sempat melihat Daus sedang membersihkan rencongnya dengan santai. Herlanda lega. Sahabatnya itu tidak ke Sumatera.
Van Ham memberikan acungan jempol sebelum akhirnya meninggal. Â Tandanya dia sportif mengakui kehebatannya bisa masuk ke jebakannya tanpa diketahuinya. Herlanda memeluk Daus.
"Iya, aku sudah sayang sama Kinan, sama Widy dan kamu juga Herlanda," ucap Daus. "Kalian keluarga baruku. Sudah tiga hari ini aku mengintai mereka dan tahu rencana menjebak kalian."
Satu masalah selesai. Namun Herlanda belum tahu apakah dia akan dikirim juga keluar Jawa dan tidak ada jaminan suatu ketika perasaan Daus akan goyah.
Depok, Cinere, Sabtu 17 Januari 2015
Perang saudara menurut aku adalah perang yang paling buruk. Ayahku pernah bercerita ketika dia mahasiswa bersama rombongan yang dikawal tentara ditembaki dari atas sebuah bukit, tidak terlalu ingat, tetapi mungkin Lembah Anai. Belakangan aku dapat cerita seorang  saudara ibu pernah ikut PRRI dan mungkin ikut menembaki.  Mana dia tahu ada iparnya di bawah kelak.
Hari ini di Bioskop 21 Cinere nonton  Di Balik 98. Kisah fiksi tentang peristiwa reformasi. Seorang mahasiswi Trisakti berseberangan dengan suami kakaknya yang tentara, yang hanya menjalankan tugas dan mungkin paham politik, tetapi tidak berdaya.
Kalau saja Soeharto tidak mengundurkan diri dan bersisikukuh mempertahankan kekuasaannya seperti halnya Sukarno pada 1966, bisa jadi Indonesia dilanda perang saudara yang lebih hebat dari PRRI/Permesta. Tapi kedua  founding father itu menyadari hal itu.
"Pilpres kemarin juga membelah kawan-kawanku di media sosial," ujar Gendhis yang ikut menemaniku menonton. Tetapi misi lebih menanyakan sejauh mana aku membuat cerita tentang perempuan bernama Widi.
"Aku kemarin abstain," ucapku.
"Aku juga. Waktu 1998, masih duduk di bangku SMA di Yogyakarta, di sana juga ramai," katanya. "Masih bingung juga buat aparat di atas jembatan layang menembaki mahasiswa di dalam kampus Trisakti," katanya.Â
"Aku di Bandung waktu itu. Wawancara seorang  psikiater Unpad, nah pas pulang itu baca berita enam mahasiswa Trisakti tewas di sebuah koran di kereta api parahyangan. Tetapi kemudian ternyata empat," ceritaku.Â
"Malamnya tidak mendengar apa-apa.  Hanya melihat Bandung dijaga tentara di berapa tempat, tetapi itu pemandangan biasa pada Mei 1998. Sampai di kantor Sinar  kawan-kawan sudah hebih begadang semalaman reportase di rumah sakit."
"Kalau aku jujur dilarang keluar malam oleh Bapakku. Oh, ya riset Mas tentang Bandung 1950-an?"
"Mirip dengan  cerita kamu tentang Widy orang Belanda pergi, ada pergolakan daerah dan gerombolan DI/TII masih merajalela," kataku.Â
"Kasihan juga persahabatannya dengan orang Belanda harus bubar karena keadaan. Apakah mereka akan bertemu lagi?"
"Baca saja lanjutannya," katanya.Â
Aku mengantarnya ke  Baraya ke Bandung untuk berapa hari, sebelum pulang ke Yogyakarta.Â
"Jangan lupa Kampung Jazz, Mei nanti," ucapnya  sambil tertawa (Bersambung)
Irvan Sjafari
Main Foto
Cover Majalah Time Maret 1958 Â https://www.historia.id/article/sukarno-vs-majalah-time-d84xzÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI