Ciwidey, 29 Oktober 1957 malam bada Isya
"Widy! Kamu sama Jilly, dan satu lagi..!" Syafri sendiri membuka pintu  rumah  panggung berdinding bambu  cukup besar itu. Pamannya Emil Tahar juga ikut menyambutnya.
"Saya Ambar, Suhesti Ambarwati tepatnya, kata perempuan hitam manis itu mengulurkan tangan, Syafri menyambutnya.
"Hey, nggak lama-lama!" Widy mengolok, tapi dia sama sekali tidak cemburu.
Emil Tahar pria berbadan besar itu baru pertama kali bertemu Widy, pengusaha perkebunan juga mempunyai sebuah apotek di Kota Bandung dan toko. Â Syafri kini jadi tangan kanannya. Istrinya Meiti, juga ikut datang tergopoh-gopoh dia melihat Widy.
"Euuy, keponakan kamu juga dapat orang Sunda!" serunya. "Maaf kami tidak datang ke pernikahan kalian, karena kami waktu itu lagi ke Lampung."
Dua orang pegawai Emil membantu membawa kopor Widy, Jilly dan Ambar. Mereka langsung masuk ke ruang tamu, ternyata sudah ada Hein dan Rinitje.
"Surprise! Kang Angga juga ada, kami menginap malam ini karena juga mengurus perkebunan. Kalau aku juga urus bisnis balerang," kata Hein.
"Kang Angga?"
"Lagi keluar bersama Yoga, nanti bergabung."