Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kejahatan Seksual dan Remaja Era 1950-an hingga 1970-an

19 Desember 2021   14:10 Diperbarui: 19 Desember 2021   14:16 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi Anti Cabul pada 1957-Foto: Irvan Repro Aneka

Mengapa para remaja akhirnya mengakses bacaan dan tontonan pornografi. Awalnya hanya ingin tahu. Masalahnya hal itu tidak ada materi pelajaran yang menyinggung seksualitas setahu saya. Beberapa teman kuliah saya mengaku pendidikan seksualitas dari orangtuanya.

Memang tidak terbukti apakah itu berdampak langsung pada moralitas remaja. Bisa iya, bisa tidak. Memang ada kasus hamil di luar nikah di kalangan pelajar SMP dan SMA. Sayangnya tidak ada penelitian yang saya temukan berapa angkanya, bahkan di Jakarta saja.

Pada 1990-an film Indonesia yang dinilai "mengumbar" aurat merajalela, yang diikuti mati surinya film Indonesia.  Munculnya televisi swasta malah lebih mendorong arus budaya global masuk, bahkan diadaptasi juga di sinetron. 

Sebetulnya sudah dimulai oleh film seperti "Catatan Si Boy" pada era 1980-an yang menandakan sudah perubahan nilai cara pacaran. Berciuman antar lawan jenis sudah dianggap hal yang biasa asal jangan lebih dari itu.

Perspektif Untuk Masa Kini

Kemunculan teknologi informasi, internet dan media sosial semakin memudahkan remaja mengakses pornografi. Memang ada upaya pemerintah melakukan blokade terhadap situs yang dianggap tidak baik.  Dan tetap ada celah.

Bagaimana dengan pelecehan atau kejahatan seksual lain?  Teliti saja berita di media cetak Pos Kota sejak 1970-an, berapa kasus perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual. Makin banyak atau tidak? Itu baru yang dilaporkan.   Tentu penelitian tersebut butuh waktu.  

Perempuan memang kerap disalahkan karena berpakaian minim. Sementara pihak lain menuding  laki-lakinya saja pikiranya saja yang mesum. Kalau menurut saya, dua pemkiran ini sama-sama  tidak bisa disalahkan, karena konstruksi lewat media massa mau cetak, elektronik, daring hingga film sudah terlanjur mengakar dan menganggap perempuan adalah "jualan".  Itu sudah berlangsung puluhan tahun.

Satu-satunya jalan ialah beradaptasi dengan kondisi seperti ini dengan memasukan pendidikan seksual bukan saja kepada mereka yang baru menikah, tetapi setidaknya kepada siswa yang duduk di bangku SMP dan SMA. 

Ketika duduk di sekolah menengah ini umumnya para siswa berada dalam  sudah akil balik, daripada mereka mencari tahu sendiri. Sekalius meminimalisir mereka jadi sasaran empuk pelecehan seksual.

Jangan harap produser  film dan acara televisi mau melakukan pendidikan seksual karena mereka akan hitung-hitungan bisnis. Sekalipun masih ada yang punya idealisme seperti itu. Kecuali kalau pemerintah mau membiayai dan harus dilakukan secara masif untuk melakukan konstruksi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun