Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Politik dan Krisis Beras di Jawa Barat 1950-an Awal

25 Juli 2021   12:29 Diperbarui: 31 Juli 2021   19:42 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto: Buku Propinsi Jawa Barat, 1953/repro Irvan Sjafari

Sejak masih di bawah penjajahan, mengendalikan harga beras adalah politik yang vital. Pemerintah kolonial Belanda menginginkan upah buruh tetap murah dan untuk menghindarkan gejolak sosial harga beras ditekan hingga bisa terjangkau oleh buruh untuk menghidupi keluarganya. Kalau terjadi penurunan produksi beras, maka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga melakukan impor.

Beras menjadi kata kunci untuk ekonomi politik dan itu tetap berlanjut pada pasca kemerdekaan. Pemerintah Sukarno menjadikan beras dimasukan sebagai tambahan  pendapatan untuk pegawai negeri dan militer, menurut Jonatan Lassa dalam tulisannya bertajuk "Politik Ketahanan Pangan  Indonesia 1950-2005" dikutip dari sini.

Politik beras dimulai pada 1952 dengan kebijakan Swasembada Beras Melalui Program kesejahteraan Kasimo  dengan membentuk BAMA (Yayasan Bahan Makanan) antara 1950-1952 dam  1953-1956: YUBM (Yayasan Urusan Bahan Makanan) antara 1953 hingga 1956 dan 1956: YBPP (Yayasan Badan Pembelian Padi),

Sejak awal 1950-an krisis beras terjadi di berapa daerah, bahkan di daerah lumbung padi seperti di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Pikiran Rakjat edisi 28 November 1951 menuturkan banyak rakyat di daerah itu sudah makan gaplek, tetapi ironisnya mereka adalah petani. Padi hasil jerih payah mereka memenuhi di penggilingan padi  yang bukan milik mereka. Diduga sengaja ditumpuk menunggu beras naik.

Sistem idjon jang dulu banjak dipraktekan sekarang sudah lenjap, tetapi diganti dengan tjara jang tidak kurang kedjamnja.  Banjak petani jang lama sekali sebelum padi sawahnja menguning, telah tidak lagi berkuasa atas padinja karena punja hutang pada orang2 kaja jang umumnja bangsa asing....

Dugaan itu bukannya tidak berdasar. Sejak pertengahan 1951 rakyat  Jawa Barat dikejutkan dengan naiknya harga beras.  Apabila pada 1950 harga beras berkisar antara Rp1,12 hingga Rp1,30 per kilogram untuk beras giling.

Sementara untuk beras tumbuk harganya kurang dari Rp1 per kilogram,  naik menjadi Rp1,50/kg untuk beras tumbuk dan Rp2,05 /kg untuk beras giling.  Mulanya penyebab kenaikkan harga beras dikaitkan dengan musim paceklik. Harga semakin merangkak naik karena musim kemarau lebih panjang.   

Pandangan pemerintah daerah Jawa Barat waktu itu bukan tidak beralasan. Pada Januari 1951 dilaporkan terjadi kerusakan tanaman padi seluas 21.273 hektar.  Di antaranya 905 hektar terjadi di kawasan Priangan. 

Pada Februari 1951 kerusakan padi terjadi di Priangan bertambah sebanyak 162 hektar dan Krawang seluas 211 hektar.   Bulan berikutnya Maret 1951 kerusakan tanaman padi di Priangan mencapai 165 hektar disusul Banten 119 hektar.  

Pada April kerusakan di priangan mencapai 109 hektar namun sebaliknya di Karawang tanaman padi seluas 889 hektar mengalami kerusakan.

Pikiran Rakjat edisi 18 Januari 1951 hanya menyebutkan kerusakan tanaman padi oleh hama dan penyakit.

Sampai di sini kerusakan sawah masih bisa diterima. Harga beras semakin merangkak naik pada Maret 1951 yaitu untuk beras giling kualitas I Rp2,40/kg, kualitas II dan III Rp2,25/kg.  Sementara beras tumbuh kualitas satu berkisar Rp2,30/kg dan kualitas II Rp2,10/kg.

Namun tulisan lain dalam Pikiran Rakjat edisi 19 Juni 1951 menuturkan ada alasan lain. tingginya harga beras ternyata menyangkut masalah yang lebih serius dan kompleks daripada persoalan lokal.  

Merosotnya harga karet di pasaran internasional (juga nasional) hingga 50 persen membuat sejumlah spekulan berpindah kepada perdagangan beras dan padi.

Harga sekilo karet mentah hingga Maret 1951 Rp2,80 jatuh hingga Rp1,40/kg. Sementara smoked shet hingga Maret 1951 mencapai Rp8,50 jatuh keRp 5,50/kg.  

Pada 1950-an awal Indonesia menikmati era boom ekspor karet sebagai dampak meletusnya Perang Korea.   "Buletin Konprensi Karet Nasional", 1976 menyebutkan pendapatan dari ekspor karet mencapai 50,6% dari seluruh nilai penghasilan ekspor Indonesia.  Volume ekspor karet pada msa itu berkisar antara 750-800 ribu ton.  

Selain itu harga beras di pasaran internasional melonjak naik sebagai akibat berkurangnya produksi beras di Asia Selatan. Sebetulnya ada kewajiban Ondernemer (pemilik perkebunan) untuk memberikan beras secara cuma-cuma, namun tidak berarti karena berpacu dengan  pertambahan penduduk. Pada sisi lain produksi beras sendiri pada 1949 yang tadinya 8.560.000 ton merosot menjadi  6.836.000 ton pada 1950.

Spekulan beras merajalela, sekalipun ada yang dihukum.  Misalnya, pada Juni 1951 Pengadilan Negara Bandung yang diketuai Mr. Astrawinata memutuskan hukuman penjara selama tiga bulan terhadap Lim Bun Kwie, seorang pedagang beras di Bandung (Pikiran Rakjat, 13 Juni 1951).

Membumbungnya harga beras menjadi isu hangat pada pergantian tahun, baik di pusat maupun di Jawa Barat. Kesanggupan rakyat membeli beras merosot karena tidak sebanding dengan pendapatannya.

Pikiran Rakjat edisi 10 Januari 1962 mengungkapkan harga beras di pasar kota Bandung tetap tinggi untuk beras giling kualitas III saja dipatok dengan harga Rp4/kg, untuk kualitas II Rp4,25/kg dan Kualitas I harganya Rp4,5 /kg.  Sementara beras tumbuk kualitas II maupun kelas I rata-rata Rp3,9/kg.

Untuk menstabilkan harga beras pemerintah melaksanakan berbagai langkah seperti mengorganisasi Jajasan Bahan Makanan menjadi Jajasan Urusan Bahan Makanan. 

Pada 11 Januari 1952, Kepala Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Dr. Saruso Wirgodihardjo dan Kepala Bagian Pembelian Hardiman (keduanya di bawah Kementerian perekonomian) terbang ke Bangkok selaku misi pemerintah untuk pembelian beras.  Melempar beras impor ke pasar dalam negeri dipercaya untuk menurunkan harga-harga yang tinggi.

Pikiran Rakjat edisi 15 Januari 1952 mengkritisi langkah yang dilakukan pemerintah  dikhawatirkan tidak efektif. Karena berdasarkan pengalaman, tidak sedikit kekhawatiran beras yang diimpor itu hanya membanjiri gudang-gudang terkunci dan jatuh ke tangan orang-orang yang mau mencari untung besar.

Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata membentuk advies comissie. Anggotanya terdiri dari orang-orang yang dipandang cakap memberikan masukan bagi Gubernur untuk menyusun rencana.

Para residen seluruh Jawa Barat serta kepala-kepala bagian dari kantor sekretariat provinsi  dan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berunding. Keputusannya adalah  kepala-kepala daerah diwajibkan aktif mengontrol  produksi bahan makanan penting, sejak penjualan padi, penggilingan, sampai peredarannya.  

Gubernur Sanusi mengatakan, penyebab tingginja harga beras itu terletak pada peredaran.  Sanusi meminta kaum pedagang menunjukkan"bonafideteitnja" dan kepada masyarakat umumnja diharapkan membantu  supaya turut menjaga jangan sampai harga beras  itu naik terus.

Menurut Sanusi beras itu bukan komoditi perdagangan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Jawa Barat membutuhkan 75.000 ton beras.  Kepala daerah diharuskan mencari tahu persedian beras di daerahnya. 

Sebelumnya mereka tidak tahu.  Secara teoritis beras itu cukup.  Sekurang-kurangnya di Jawa Barat ada satu juta hektar sawah yang menghasilkan 15 juta kuintal beras. Sehingga setiap orang dipukul rata anak dan dewasa mendapat beras 1 kuintal. 

Pada awal Januari 1952 tersebar desas-desus bahwa sebetulnya  beras dari Jawa Barat diselundupkan ke luar daerah, tetapi ada juga kabar beras Jawa Tengah masuk ke Jawa Barat.  

Ditambah lagi ada beras impor.  Desas-desus itu memperkuat dugaan masalahnya ada dalam peredaran di mana para pedagang menggunakan beras sebagai "handel artikel" untuk memperoleh keuntungan besar.

Suntikan Beras

Sejak Oktober 1951 Pemerintah Kota Bandung melakukan suntikan beras di pasar melalui grosir-grosir terus ke pedagang-pedagang dan selanjutnya disampaikan kepada pemakai.   Setiap bulannya di Bandung disediakan beras untuk suntikan sebanyak 800 ton. 

Sebagian dengan melalui grosir-grosir yang tergabung dalam Ikatan Grosir Beras Indonesia dan sebagian lagi melalui grosir-grosir milik orang Tionghoa yang ditunjuk oleh Jajasan Bahan Makanan (Bama).

Setiap grosir boleh mengambil keuntungan Rp0.05 (5 sen) per kilogram. Yang masuk IGBI (Ikatan Grosir Beras Indonesia) sebanyak 9 grosir membanjiri beras suntikan itu kepada 18 pasar di Kota Bandung.  Banyaknya beras dari IGBI 500 ton dan 300 ton dari grosir Tionghoa.

Setiap hari rata-rata dikeluarkan 16-20 ton. Apa yang dikeluarkan hari itu tidak boleh disimpan dan harus dijual hari itu juga. Hal itu untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendaki.    

Di Kota Bandung, usaha ini  bisa berjalan. Tidak demikian dengan tingkat kabupaten di mana suntikan beras  terlambat di kabupaten-kabupaten.  Di kabupaten wilayah Priangan grosir-grosir ditunjuk oleh kepala daerah masing-masing (Bupati). 

Beras suntikan untuk Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang terlambat. Beras suntikan untuk Desember baru dibereskan keuangannya pertengahan Januari ini.  Keterlambatan karena kesulitan keuangan.  Penjualan juga dilakukan dengan antri.     

Hingga pertengahan 1952 beras menjadi isu utama. Pikiran Rakjat 1 Juli 1951 melaporkan  Bandung masih membutuhkan sekitar 7.500 ton beras per bulan.  Atas desakan beberapa organisasi buruh di Kota Bandung dibentuk Badan Penyelenggara Beras yang dipimpin oleh suatu dewan yang terdiri dari wakil-wakil jawatan dan organisasi yang bersangkutan. 

Langkah ini dilakukan karena tetap saja buruh adalah kalangan yang paling usah mendapatkan beras.  Buruh mendapatkan beras dengan jalan kredit hingga harga dan kualitas sejalan tidak merugikan buruh.

Menurut laporan dari buku profil "Propinsi Djawa  Barat  Republik Indonesia", yang diterbitkan pada 1953 disebutkan pada 1952 sebetulnya terjadi perbaikan kebijakan pertanian secara besar-besaran. 

Luas sawah padi meningkat sebanyak 1.614.002 H dibandingkan pada 1951 seluas 1.135.390 Ha.   Perluasan ini juga disebabkan iklim yang lebih baik. Musim hujan akhirnya turun pada awal 1952 dan kembali normal pada September 1952. 

Namun produksi padi turun dari 25,2 kuintal/ha pada 1951 menjadi 24 kuintal/Ha pada 1952 karena hama padi yang lebih merusak dibanding 1951.   Namun rupanya pada 1952 terjadi penambahan bendungan dan proyek pengairan, seperti proyek Barugbus di kawasan Cikampek mulai dimanfaatkan petani.

Kebijakan Pemprov  Jabar

Pihak Jawatan Petanian Jawa Barat kemudian melakukan langkah membatasi gerak para tengkulak.  Caranya dengan mengeluarkan larangan para tengkulak baru untuk menyosoh (membersihkan) berasnya sendiri. 

Pabrik-pabrik tidak diperkenankan menggiling beras bagi keperluan sendiri.  Dengan jalan ini para tengkulak sukar menimbun beras. Para partikelir tidak akan mempunyai beras giling. Mereka hanya boleh memiliki beras tumbuk yang tidak tahan lama (Pikiran Rakjat, 3 Oktober 1952).

Gubernur Sanusi juga mengancam organisasi atau tengkulak yang menggunakan uang negara sisa pembelian padi untuk keperluan lain akan dianggapan penggelapan. Setiap pihak yang terlibat dalam pembelian padi diminta pertanggungjawabannya. Sisa uang harus dikembalikan. Pelanggaran akan dituntut dan organisasi yang terlibat tidak akan dipakai lagi (Pikiran Rakjat, 25 Oktober 1952).

Ilustrasi-Foto: Buku Propinsi Jawa Barat, 1953
Ilustrasi-Foto: Buku Propinsi Jawa Barat, 1953

Pihak Jawatan Pertanian Jawa Barat juga melakukan pendekatan kepada petani melalui media untuk menaikkan hasil padi. Artikel yang ditulis dalam majalah berbahasa Sunda Pa'Tani edisi 3 Februari 1953 menyebutkan satu hektar sawah yang baik adalah yang mampu menghasilkan 30 kwintal di waktu panen dan waktu musim rendengan (panen berturut-turut) biasanya turun 25 kuintal.  

Laporan di majalah itu juga mengakui adanya gangguan hama tikus (beurit) merusak padi di persawahan kawasan Karawang dan anak-anak tikus merupakan gangguan bagi padi di tempat penggilingan. 

Juga disebutkan sebuah kasus di Subang yang menunjukkan suatu keanehan.  Di Kewedanaan Salaherang terdapat 1.000 Ha sawah yang terlantar dan dijadikan tempat angon sapi.  Laporan ini juga menyebutkan perbedaan distribusi padi di Jawa Barat. Di Kalimati, Pamanukan kali irigasi digunakan untuk jualan kelapa dan di Priangan Selatan padi dipikul.

Pikiran Rakjat edisi 3 Januari 1953 melaporkan bahwa tingginya produksi beras pada 1952 menurut Inspeksi Pertanian Rakjat Propinsi Djawa Barat mencapai angka yang lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, yaitu mencapai 3,5 juta ton. 

Jumlah ini 0,6 ton lebih besar dari puncak produksi beras tertinggi sebelum beras. Laporan itu juga menyebutkan adanya gangguan hama seperti yang terjadi di Pantai Utara seluas 20.000 Ha Sawah yang diganggu hama beluk dan mentek.

Kenaikan angka produksi baru ini tidak berarti suatu penambahan untuk mencukupi kekurangan bahan makanan, mengingat jumlah penduduk yang membutuhkan juga banyak.  

Secara keseluruhan memasuki 1953 harga beras mulai stabil. Politik beras yang dijalankan pemerintah mulai April 1952 hingga triwulan pertama 1953 ini dianggap berhasil.  Di kota-kota kecil harga beras sudah ada yang turun di bawah Rp2 per kg, hanja di kota-kota besar masih di atas harga tersebut.   Sehingga kalau ditarik dalam satu garis maka harga beras akhir twiwulan pertama 1953 adalah Rp 2/kg.

Pada tahap pertama 5 Januari 1953 Kota Bandung saja dibanjiri beras giling dalam negri sebanyak 300 ton dengan harga Rp2,20/kg.  Jumlah itu didukung oleh beras persedian dari luar negeri dengan kualitas tinggi disimpan di gudang-gudang beras Bandung.  

Kawasan Karawang dan Cianjur dilaporkan panen beras. Hasil panen ini kemudian didistribusikan ke daerah-daerah yang kekurangan (Pikiran Rakjat, 6 Januari 1953)

Menurut keterangan Menteri Pertanian Sardjan harga Rp2 itu dipertahankan adalah merupakan salah satu dasar yang terpenting bagi usaha-usaha di lapangan lainnja dan untuk kehidupan rakyat pada umumnya.

Di lapangan perindustrian umpamanya kost pris untuk hasil-hasilnya tetap lebih tinggi.  Buruh-buruh dengan upah yang mereka terima tidak bisa membeli bahan makanan yang pantas karena mahalnya (Pikiran Rakjat, 26 Maret 1953)

Selain itu disebutkan masih tingginya kejahatan berefek mengeruhkan masyarakat, apabila harga beras tidak dikejar lagi oleh rakyat jelata.  Ketenangan hati di kalangan pegawai negeri, polisi dan tentara akan terganggu, bila harga beras lebih tinggi daripada minimum gaji mereka terima.

Impor beras dalam 1952 sekitar 60 ribu ton1 dari Thailand bisa dilaksanakan lancar terutama bisa masuk pada waktu yang ditentukan, karena produksi beras di dalam negeri di 1952 ada lebih baik, dari pada di tahun 1951 dan yang terpenting karena politik beras juga mengalami perubahan yang radikal.

Di masa sebelum 1953 organisasi-organisasi partikelir berdagang beras bersama organisasi partikelir penggilingan beras diserahkan menjalankan politik beras pemerintah.  Dalam praktik pembelian beras dari luar negeri yang dilakukan oleh kongsi-kongsi dagang beras dan pembelian padi dalam negeri dilakukan oleh pabrik-pabrik beras. 

Organisasi-organisasi itu melakukan tugas yang diberikan pemerintah tetapi juga melakukan perdagangan beras. Dengan modal dan kekuatan monopoli beras dan memainkan harga., 

Lebih kuat lagi keluasan monopoli mereka itu dan sesudah pemerintah memberi tugas dan modal baru untuk politik beras, beras dari luar negeri selalu terlambat, pada musim panen  harga beras jatuh, harga padi rendah.

Kekuatan Monopoli Organisasi Penggilingan Beras Dilucuti 

Pada 1953 pemerintah menempuh jalan yang sama sekali baru. Organisasi penggilingan beras dan pedagang beras dilucuti kekuatan monopolinya. Penggilingan beras ini hanya boleh menggiling beras pemerintah saja, ia tidak boleh jual beras atau padi. 

Dengan kata lain tanggungjawab penjualan dan peredaran beras seharusnya diatur sepenuhnya oleh pemerintah.  Pada Desember 1951 Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebetulnya pernah mengirim nota bahwa beras seluruhnya dikuasai pemerintah atas dasar medewerking ordonnantie 1946.

Sebelum kebijakan ini dikeluarkan sebanyak 186 buah penggilingan beras di Jawa Barat ditugaskan untuk membeli beras untuk pemerintah dan diperbolehkan membeli untuk kepentingannya sendiri. 

Pada praktiknya ternyata mereka melakukan penukaran beras yang jelek kepunyaan sendiri dengan beras yang bagus kepunyaan pemerintah. Praktik ini disebut bermain sunglap-sunglapan (Pikiran Rakjat, 6 Desember 1951).

Monopoli oleh pemilik penggilingan dan pedagang beras ini berpotensi menjadi masalah sosial. Peredaran beras di Jawa Barat sebagaian besar dikuasai orang Tionghoa (masa itu orang Tionghoa masih dianggap bangsa asing).

Dari 224 pemain perdagangan beras yang besar hanya 5 yang ditangan orang Indonesia.  Sebenarnya dari 335 pemain beras yang lebih kecil, hanya 4 yang orang Indonesia.  

Timbul pertanyaan mengapa pemerintah memberikan lisensi kepada orang Tionghoa, sementara beras banyak digunakan Bangsa Indonesia? (Pikiran Rakjat, 6 Desember 1951).

Jadi tampaknya kebijakan ini juga punya efek meredam masalah sosial.  Keberhasilan lain ialah usaha pemerintah membanjiri pasar dengan beras impor mempunyai efek karena harganya sudah jauh di bawah beras awal 1952 yang melampaui Rp4.

Menurut Majalah Pa'tani edisi nomor 3, Maret 1953 beras Siam jenis C di Pasar Jakarta dijual seharga Rp245 per 100 kg atau Rp2,45 per kg-nya, sementara beras siam jenis DE dijual Rp235 per 100 kg atau Rp2,35 per kg-nya. 

Dalam laporan itu selain beras Siam, beras impor lain yang dijual adalah Beras Portugis dijual Rp280/100 kg atau Rp2,8 per kg, beras USA Rp260/100 kg atau Rp2,6 per 1kg-nya, serta beras Meksiko Rp 260/100 kg atau Rp2,6/kg.    

Sayangnya majalah-memang diterbitkan oleh Jawatan Pertanian Jawa Barat- tidak menyebutkan secara eksplisit apakah kebijakan beras import ini memberikan efek bagi petani.  Namun diakui kebijakan impor beras menimbulkan pertanyaan karena umumnya tanah Indonesia subur. 2

Pada April 1953 Soele, Kepala Kantor Urusan Bahan Makanan Propinsi Djawa Barat merilis laporan bahwa beras sudah berkisar antara Rp1,80-1,85.  Hanya saja urunnya harga beras hanya menyelesaikan satu soal yang dihadapi rumah tangga.

Kustinah dalam tulisan "Gerakan Wanita dan Kenaikkan Harga beras" dalam Pikiran Rakjat 23 April 1953 mengungkapkan keluhan para ibu rumah tangga. Sejak awal 1953 harga barang kebutuhan hidup seperti susu, tepung, sewa rumah, listriik dan tarif air meningkat 20-75%.

"Kaum ibu makin repot mengatur rumah tangga karena gaji suami tidak cukup," ujar Kustinah mengajak gerkaan wnita menentang kenaikan sewa rumah.

Meskipun demikian poliik beras ini suatu prestasi yang boleh dibilang spektakuler pada masa itu di tengah masih buruknya gangguan keamanan, ketidakstabilan politik akibat jatuh bangunnya kabinet era Demokrasi Liberal.  Sekalipun hanya untuk sementara.  

Irvan Sjafari

1. Dalam Ichtisar Gerakan Tani edisi 11/12 November-Desember 1952 disebutkan sebetulnya Indonesia mengajukan 90.000 ton beras tetapi Thailand hanya menyanggupi 60.000 ton. 

Itu terjadi karena terjadinya penurunan produksi beras Thailand.  Biasanya setiap tahun negeri gajah putih itu menghasilkan 5-6 juta ton dan dari itu sekitar 1,5 juta ton untuk ekspor. Namun panen terakhir hanya memungkinkan 800 ribu ton untuk ekspor. Iklim yang buruk pada 1952 dan transportasi menjadi penyebab.

2. Dalam "Majalah Ichtisar Gerakan Tani", No.8, Agustus 1952 disebutkan adanya bantuan kepada petani.  Misalnya Kantor Urusan Gerakan Tani di Tasikmalaya memberikan kredit kepada sejumlah organisasi tani di 11 desa di Kecamatan Indihiang uang sejumlah Rp340.000. Satu desa mendapatkan kredit Rp25.000 hingga Rp35.000.  Uang itu dipakai untuk modal pembelian hasil panen dari 11 desa itu dengan harga bebas.  Lama pinjaman 5 tahun dengan bunga 10 persen per tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun