Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Politik dan Krisis Beras di Jawa Barat 1950-an Awal

25 Juli 2021   12:29 Diperbarui: 31 Juli 2021   19:42 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto: Buku Propinsi Jawa Barat, 1953/repro Irvan Sjafari

Sejak masih di bawah penjajahan, mengendalikan harga beras adalah politik yang vital. Pemerintah kolonial Belanda menginginkan upah buruh tetap murah dan untuk menghindarkan gejolak sosial harga beras ditekan hingga bisa terjangkau oleh buruh untuk menghidupi keluarganya. Kalau terjadi penurunan produksi beras, maka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga melakukan impor.

Beras menjadi kata kunci untuk ekonomi politik dan itu tetap berlanjut pada pasca kemerdekaan. Pemerintah Sukarno menjadikan beras dimasukan sebagai tambahan  pendapatan untuk pegawai negeri dan militer, menurut Jonatan Lassa dalam tulisannya bertajuk "Politik Ketahanan Pangan  Indonesia 1950-2005" dikutip dari sini.

Politik beras dimulai pada 1952 dengan kebijakan Swasembada Beras Melalui Program kesejahteraan Kasimo  dengan membentuk BAMA (Yayasan Bahan Makanan) antara 1950-1952 dam  1953-1956: YUBM (Yayasan Urusan Bahan Makanan) antara 1953 hingga 1956 dan 1956: YBPP (Yayasan Badan Pembelian Padi),

Sejak awal 1950-an krisis beras terjadi di berapa daerah, bahkan di daerah lumbung padi seperti di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Pikiran Rakjat edisi 28 November 1951 menuturkan banyak rakyat di daerah itu sudah makan gaplek, tetapi ironisnya mereka adalah petani. Padi hasil jerih payah mereka memenuhi di penggilingan padi  yang bukan milik mereka. Diduga sengaja ditumpuk menunggu beras naik.

Sistem idjon jang dulu banjak dipraktekan sekarang sudah lenjap, tetapi diganti dengan tjara jang tidak kurang kedjamnja.  Banjak petani jang lama sekali sebelum padi sawahnja menguning, telah tidak lagi berkuasa atas padinja karena punja hutang pada orang2 kaja jang umumnja bangsa asing....

Dugaan itu bukannya tidak berdasar. Sejak pertengahan 1951 rakyat  Jawa Barat dikejutkan dengan naiknya harga beras.  Apabila pada 1950 harga beras berkisar antara Rp1,12 hingga Rp1,30 per kilogram untuk beras giling.

Sementara untuk beras tumbuk harganya kurang dari Rp1 per kilogram,  naik menjadi Rp1,50/kg untuk beras tumbuk dan Rp2,05 /kg untuk beras giling.  Mulanya penyebab kenaikkan harga beras dikaitkan dengan musim paceklik. Harga semakin merangkak naik karena musim kemarau lebih panjang.   

Pandangan pemerintah daerah Jawa Barat waktu itu bukan tidak beralasan. Pada Januari 1951 dilaporkan terjadi kerusakan tanaman padi seluas 21.273 hektar.  Di antaranya 905 hektar terjadi di kawasan Priangan. 

Pada Februari 1951 kerusakan padi terjadi di Priangan bertambah sebanyak 162 hektar dan Krawang seluas 211 hektar.   Bulan berikutnya Maret 1951 kerusakan tanaman padi di Priangan mencapai 165 hektar disusul Banten 119 hektar.  

Pada April kerusakan di priangan mencapai 109 hektar namun sebaliknya di Karawang tanaman padi seluas 889 hektar mengalami kerusakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun