Dengan kata lain tanggungjawab penjualan dan peredaran beras seharusnya diatur sepenuhnya oleh pemerintah. Â Pada Desember 1951 Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebetulnya pernah mengirim nota bahwa beras seluruhnya dikuasai pemerintah atas dasar medewerking ordonnantie 1946.
Sebelum kebijakan ini dikeluarkan sebanyak 186 buah penggilingan beras di Jawa Barat ditugaskan untuk membeli beras untuk pemerintah dan diperbolehkan membeli untuk kepentingannya sendiri.Â
Pada praktiknya ternyata mereka melakukan penukaran beras yang jelek kepunyaan sendiri dengan beras yang bagus kepunyaan pemerintah. Praktik ini disebut bermain sunglap-sunglapan (Pikiran Rakjat, 6 Desember 1951).
Monopoli oleh pemilik penggilingan dan pedagang beras ini berpotensi menjadi masalah sosial. Peredaran beras di Jawa Barat sebagaian besar dikuasai orang Tionghoa (masa itu orang Tionghoa masih dianggap bangsa asing).
Dari 224 pemain perdagangan beras yang besar hanya 5 yang ditangan orang Indonesia. Â Sebenarnya dari 335 pemain beras yang lebih kecil, hanya 4 yang orang Indonesia. Â
Timbul pertanyaan mengapa pemerintah memberikan lisensi kepada orang Tionghoa, sementara beras banyak digunakan Bangsa Indonesia? (Pikiran Rakjat, 6 Desember 1951).
Jadi tampaknya kebijakan ini juga punya efek meredam masalah sosial. Â Keberhasilan lain ialah usaha pemerintah membanjiri pasar dengan beras impor mempunyai efek karena harganya sudah jauh di bawah beras awal 1952 yang melampaui Rp4.
Menurut Majalah Pa'tani edisi nomor 3, Maret 1953 beras Siam jenis C di Pasar Jakarta dijual seharga Rp245 per 100 kg atau Rp2,45 per kg-nya, sementara beras siam jenis DE dijual Rp235 per 100 kg atau Rp2,35 per kg-nya.Â
Dalam laporan itu selain beras Siam, beras impor lain yang dijual adalah Beras Portugis dijual Rp280/100 kg atau Rp2,8 per kg, beras USA Rp260/100 kg atau Rp2,6 per 1kg-nya, serta beras Meksiko Rp 260/100 kg atau Rp2,6/kg. Â Â
Sayangnya majalah-memang diterbitkan oleh Jawatan Pertanian Jawa Barat- tidak menyebutkan secara eksplisit apakah kebijakan beras import ini memberikan efek bagi petani. Â Namun diakui kebijakan impor beras menimbulkan pertanyaan karena umumnya tanah Indonesia subur. 2
Pada April 1953 Soele, Kepala Kantor Urusan Bahan Makanan Propinsi Djawa Barat merilis laporan bahwa beras sudah berkisar antara Rp1,80-1,85. Â Hanya saja urunnya harga beras hanya menyelesaikan satu soal yang dihadapi rumah tangga.