Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Politik dan Krisis Beras di Jawa Barat 1950-an Awal

25 Juli 2021   12:29 Diperbarui: 31 Juli 2021   19:42 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto: Buku Propinsi Jawa Barat, 1953/repro Irvan Sjafari

Pikiran Rakjat edisi 18 Januari 1951 hanya menyebutkan kerusakan tanaman padi oleh hama dan penyakit.

Sampai di sini kerusakan sawah masih bisa diterima. Harga beras semakin merangkak naik pada Maret 1951 yaitu untuk beras giling kualitas I Rp2,40/kg, kualitas II dan III Rp2,25/kg.  Sementara beras tumbuh kualitas satu berkisar Rp2,30/kg dan kualitas II Rp2,10/kg.

Namun tulisan lain dalam Pikiran Rakjat edisi 19 Juni 1951 menuturkan ada alasan lain. tingginya harga beras ternyata menyangkut masalah yang lebih serius dan kompleks daripada persoalan lokal.  

Merosotnya harga karet di pasaran internasional (juga nasional) hingga 50 persen membuat sejumlah spekulan berpindah kepada perdagangan beras dan padi.

Harga sekilo karet mentah hingga Maret 1951 Rp2,80 jatuh hingga Rp1,40/kg. Sementara smoked shet hingga Maret 1951 mencapai Rp8,50 jatuh keRp 5,50/kg.  

Pada 1950-an awal Indonesia menikmati era boom ekspor karet sebagai dampak meletusnya Perang Korea.   "Buletin Konprensi Karet Nasional", 1976 menyebutkan pendapatan dari ekspor karet mencapai 50,6% dari seluruh nilai penghasilan ekspor Indonesia.  Volume ekspor karet pada msa itu berkisar antara 750-800 ribu ton.  

Selain itu harga beras di pasaran internasional melonjak naik sebagai akibat berkurangnya produksi beras di Asia Selatan. Sebetulnya ada kewajiban Ondernemer (pemilik perkebunan) untuk memberikan beras secara cuma-cuma, namun tidak berarti karena berpacu dengan  pertambahan penduduk. Pada sisi lain produksi beras sendiri pada 1949 yang tadinya 8.560.000 ton merosot menjadi  6.836.000 ton pada 1950.

Spekulan beras merajalela, sekalipun ada yang dihukum.  Misalnya, pada Juni 1951 Pengadilan Negara Bandung yang diketuai Mr. Astrawinata memutuskan hukuman penjara selama tiga bulan terhadap Lim Bun Kwie, seorang pedagang beras di Bandung (Pikiran Rakjat, 13 Juni 1951).

Membumbungnya harga beras menjadi isu hangat pada pergantian tahun, baik di pusat maupun di Jawa Barat. Kesanggupan rakyat membeli beras merosot karena tidak sebanding dengan pendapatannya.

Pikiran Rakjat edisi 10 Januari 1962 mengungkapkan harga beras di pasar kota Bandung tetap tinggi untuk beras giling kualitas III saja dipatok dengan harga Rp4/kg, untuk kualitas II Rp4,25/kg dan Kualitas I harganya Rp4,5 /kg.  Sementara beras tumbuk kualitas II maupun kelas I rata-rata Rp3,9/kg.

Untuk menstabilkan harga beras pemerintah melaksanakan berbagai langkah seperti mengorganisasi Jajasan Bahan Makanan menjadi Jajasan Urusan Bahan Makanan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun