Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Nomine Best in Fiction Kompasiana Awards 2024 Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lomba Cepat Pulang hingga Bertemu Budi dan Wati

4 Oktober 2025   13:57 Diperbarui: 4 Oktober 2025   13:57 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dengan bing.com

"Pasti aku yang menang!" seru Kuthuk, si anak ayam. "Nggak mungkin! Aku yang akan menang!" balas Cici.

Kuthuk dan Cici adalah teman sekolah, namun sering bertengkar. Ada saja yang mereka ributkan. Padahal mereka berada dalam satu kelas yang sama. Bu Pipit, guru mereka sampai menegur berulang kali agar bisa rukun.

"Ayo, salaman sama Cici, Kuthuk," bujuk Bu Pipit. Dengan wajah cemberut dan terpaksa, Kuthuk dan Cici bersalaman.

Ternyata, permasalahan mereka berlanjut. Sepulang sekolah, saat berada dalam perjalanan, mereka berdua masih melanjutkan pertengkaran.

"Oke, sekarang kita lomba lari. Siapa yang paling cepat sampai rumah, dia yang menang!" tantang Kuthuk. "Siapa takut?" sahut Cici.

Baik Kuthuk maupun Cici mengambil ancang-ancang. Mereka berdua menghitung satu, dua, tiga untuk memulai lomba lari. Setelah hitungan ketiga, mereka berlari secepat mungkin. Akan tetapi, tetap saja kecepatan mereka seimbang.

Kuthuk sebal dengan keadaan itu. Begitu juga dengan Cici. Di tengah-tengah berlarian, mereka terus bertengkar. Tanpa terasa, mereka salah jalan pulang karenanya.

Mereka berlari semakin jauh dan sampai di tempat yang asing. Di tempat itu, mereka menjumpai banyak manusia yang sedang membawa cangkul, ada yang bersepeda. Suasananya sejuk dan nyaman. Banyak pohon rindang dan rumah joglo di sana. Hingga mereka berdua beristirahat di salah satu joglo.

"Wati, kalau sudah selesai nyapu, kamu ajak Budi untuk memasukkan ayam ke kandang!" Kuthuk dan Cici mendengar suara seorang perempuan. Suaranya lembut sekali. Mereka pun jadi ingat kepada ibu yang pasti menunggunya di rumah.

"Ya, Bu." Suara anak perempuan menjawab suara ibu-ibu tadi. Lalu terlihatlah seorang anak perempuan yang meletakkan sapu di salah satu sudut rumah.

Anak perempuan itu kemudian berjalan, entah ke mana. Kuthuk dan Cici memerhatikannya. Beberapa menit kemudian, anak itu muncul bersama anak lelaki.

"Ayamnya sudah kami masukkan kandang, Bu!" ucap anak lelaki itu. Sementara ibunya tersenyum dan mengucapkan terimakasih.

"Terima kasih, Wati, Budi. Kamu bisa istirahat dan mandi. Sudah sore. Sudah shalat Asar, kan?"

"Sudah, Bu."

Kedua anak itu pun duduk-duduk di teras joglo. Mereka berbincang seru. Lagi-lagi Kuthuk dan Cici ingat, kalau mereka biasanya juga berbincang dengan ibunya di rumah.

"Ci, kita harus lekas pulang!"

"Iya. Tapi kita sampai mana ini?" tanya Cici panik.

"Harusnya kita tadi nggak lomba lari. Kita sekarang jadi tersesat, kan?"

Menyesal memang datang terlambat. Mereka sadar, tetapi pertengkaran sudah terlanjur terjadi.

"Sudahlah, kita pikirkan, bagaimana cara kita pulang," ucap Kuthuk.

Kuthuk dan Cici duduk termenung, memikirkan jalan untuk pulang ke rumah. Tiba-tiba...

"Kakak, lihat! Ini ada anak ayam dan kelinci. Milik siapa, ya?" tanya anak perempuan itu. Anak lelaki yang dipanggil kakak itu mendekat. "Nggak tahu, Wati."

"Kasihan sekali, anak ayam dan kelinci ini. Pasti dicari pemiliknya," ucap anak perempuan yang bernama Wati itu.

"Eh... Kalian, apa bisa bantu kami untuk pulang ke rumah kami?" tanya Cici. Dia ragu, apakah kedua anak itu memahami ucapannya.

"Wah, kamu bisa bicara?" tanya Wati. Matanya berbinar dan terlihat takjub.

"Iya, aku bisa bicara. Aku Cici, dan ini temanku, Kuthuk. Kami mau pulang sekolah tapi tersesat sampai sini," cerita Cici.

"Bagaimana kalian bisa sampai sini?" tanya anak lelaki yang bernama Budi itu. Kuthuk dan Cici menceritakan kejadian yang membuat mereka sampai di rumah Budi dan Wati.

"Baiklah, kami akan membantu kalian," ucap Budi. "Benarkah?" tanya Kuthuk. "Apakah kalian tahu tempat tinggal kami?"

Budi dan Wati mengangguk. "Kalian tinggal di desa Hewan Ceria. Kami tahu!" ucap Wati. Kuthuk dan Cici sangat bahagia mendengar ucapan Wati.

"Kita pamit Ibu dan Bapak dulu yuk, Wati!" ajak Budi. Kedua anak itupun meninggalkan Cici dan Kuthuk.

***

"Kalian baik sekali, mau mengantar kami pulang," ucap Cici, saat dalam perjalanan pulang.

"Iya, kami ini menjadi tokoh baik dalam pelajaran sekolah anak-anak Indonesia berpuluh-puluh tahun. Biar bisa ditiru oleh anak-anak," ucap Budi, sambil berjalan di posisi paling depan.

"Ah, benarkah begitu? Itu keren sekali!" seru Kuthuk.

"Tapi kalian berdua sering bertengkar apa nggak sih, Budi, Wati?" Cici bertanya penuh semangat. Dia seperti mau membandingkan dirinya dengan Kuthuk. Mendengar pertanyaan itu, Wati dan Budi tertawa.

"Ya pasti sering. Tapi Ibu dan Bapak terus menasihati kami. Nggak boleh sering bermusuhan, soalnya kalau bermusuhan itu nggak nyaman."

"Tuh, dengerin, Thuk! Kamu itu jangan cari gara-gara terus!"

"Kamu itu yang ngajak bertengkar!" jawab Kuthuk. Kuthuk dan Cici kembali bertengkar.

"Kalian itu harus fokus ke tujuan. Tujuan sekolah ya belajar. Mau pulang juga fokus untuk pulang. Bukan malah bertengkar," kata Wati.

"Yang dikatakan Wati benar, kalian belajar yang rajin. Usahakan nggak banyak bertengkar, di rumah, dan sekolah. Biar ilmunya bisa mudah dipahami."

Kuthuk dan Cici diam-diam menyetujui ucapan Budi dan Wati. Mereka sadar, karena bertengkar tadi, akhirnya tersesat dan bingung mau pulang ke rumah.

***

Akhirnya desa Hewan Ceria terlihat. Kuthuk dan Cici bahagia melihatnya.

"Ini sudah mau Maghrib, kalau kalian mau pulang, nggak apa-apa, Budi, Wati," ujar Kuthuk.

"Kalian yakin kami tinggal?"

"Iya. Kami hafal dengan desa kami. Pasti nggak akan tersesat lagi. "

"Tapi..."

"Kami janji nggak akan bertengkar lagi," ucap Cici sambil mengulurkan kelingkingnya ke arah Kuthuk. Kuthuk pun menyambut uluran itu. Budi dan Wati tertawa, lalu berpamitan untuk pulang.

___

Branjang, 4 Oktober 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun