Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Nomine Best in Fiction Kompasiana Awards 2024 Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gerimis Hati

21 Desember 2022   16:06 Diperbarui: 21 Desember 2022   16:16 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: paragram.id

Baiklah. Kali ini aku akan memberikan sebuah pengakuan atas perasaanku kepadamu.

Dulu, aku pernah menawarkan sebuah harapan kepadamu. Menjadi penjaga hatimu. Ya, aku ingin lebih dekat denganmu. 

Ternyata, setelah berbulan-bulan aku mencoba mendekatimu, kumerasa ada lampu hijau darimu. Kau tahu, betapa bahagianya aku. 

Impian simbokku untuk memperoleh mantu dari kampung halaman akan terwujud. Ibu memang tak ingin jauh dari anak-anaknya. Ya, meski aku bertugas di luar daerah juga. Menjaga perbatasan negara. Pulang belum tentu.

Hubunganku denganmu akhirnya kita lalui dengan jarak jauh. Berat pastinya. Apalagi untuk perempuan sepertimu. Yang pastinya ingin selalu mendapatkan perhatian layaknya sepasang kekasih. Seperti yang dilalui sahabat-sahabatmu.

Terkadang, aku merasa kasihan juga kalau membayangkan kamu nantinya akan bagaimana. Menjadi pendampingku pasti sangat berat.

Akhirnya, komunikasi denganmu pelan-pelan terasa berjarak. Itu kusengaja. Aku ingin memastikan, kau bisa berjauhan denganku ataukah tidak. 

Komunikasi denganmu kubatasi. Aku mau tahu, bagaimana kesetiaanmu dan bagaimana kau menjaga hatimu untukku.

Aku kejam kan, Ra?

***

Aku tahu, dengan menjaga jarak denganmu tentu sangat beresiko. Bisa saja kau memilih untuk tidak setia. 

Kau adalah bintang di sana. Untuk mendapat lelaki yang lebih baik daripada aku, pastilah mudah. 

Hatiku terasa sesak membayangkanmu bersama lelaki lain. Namun, aku masih meraba-raba, apakah aku pantas untukmu?

Senyum manismu akankah bisa selalu ada jika hidup bersamaku? Apakah canda tawamu bisa mewarnai rumah tangga kita?

Kau benar, aku yang tadinya nekad berkenalan denganmu, akhirnya merasa minder. Dengan segala keterbatasanku. 

Pendidikanku tak tinggi. Bahkan kalau kau mendengar cerita dari sahabatku, kau pasti tertawa. Ya, aku harusnya menjadi kakak kelasmu saat SD-SMA. Nyatanya kita sekolahpun seangkatan. Artinya, aku pernah tinggal kelas. Kalau kau tahu, mungkin kau akan malu dan tak sudi dekat denganku. 

***

Beberapa bulan kita tak saling menyapa. Bahkan pesan lewat WhatsApp pun tak ada sama sekali. Kupikir kau melupakan aku dan sudah dekat dengan lelaki lain.

Aku mantap dengan keputusanku untuk pergi dari hidupmu, tanpa pesan. 

Aku hampir gila dengan keputusanku. Aku merasa dunia ini tak adil. Berkenalan dengan perempuan kebanggaan daerah. Berprestasi. Sementara aku, apalah aku?

***

Tiga tahun sudah aku tak mau memikirkan perempuan. Aku takut dengan perasaanku. Takut seperti yang akan kualami seperti saat mengenalmu.

"Le, kapan kamu nikahnya? Tuh teman-temanmu sudah pada nikah. Punya anak," keluh simbok.

"Belum waktunya, mbok" ucapku tegas.

"Kalau kamu nggak bisa nyari calon istri, simbok yang carikan! Dari dulu kok jawabannya seperti itu," ucap simbok kesal.

Terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Aku bergegas ke luar rumah. Meninggalkan simbok yang masih menggerutu.

Kulihat sahabat lamaku, Niko. Kau ingat kan, Ra?

Aku menyalaminya. Memang lama aku tak bertemu dengannya. Aku jarang pulang. Kalaupun pulang, aku tak ke rumahnya. Alasanku sangat tak masuk akal. 

Niko-lah yang membuatku berkenalan denganmu. Aku tak mau mengenangmu lagi. Pikirku, kau pasti sudah bahagia dengan lelaki pilihanmu. 

"Ji... gimana kabarmu?" Sapa Niko.

Kami akhirnya berbincang-bincang. Niko kini sudah punya anak. Anaknya diajak serta ke rumahku.

Sayangnya anak Niko tidak betah berlama-lama di rumah. Niko segera berpamitan.

"Aku pulang dulu ya, Ji."

Aku mengangguk. Niko dan anaknya mendekati motornya. Anak Niko didudukkan di atas jok motor. 

Aku menarik napas panjang. Membuang napas dengan kuat. Kubalikkan tubuh, menuju rumah. Aku ingin istirahat. Mengistirahatkan pikiran dan perasaanku.

"Ji, ada yang terlupa. Aku mau menyampaikan pesan dari Dira," Niko menyodorkan sebuah amplop ke arahku.

"Terimalah!"

Kuterima amplop itu.

"Kau sempatkan buka amplop ini, Ji. Dira ingin kau melakukannya," aku hanya mengangguk.

***

"Ini tempat Dira, Ji." Ucap Niko.

Aku tak bisa berkata apa-apa, Ra. Aku sangat shock dengan suratmu. Di surat itu, kau ceritakan apa yang kau alami dan hadapi. Kau merahasiakan derita sakitmu. Tak ingin membebani pikiranku, tulismu.

Aku lelaki yang punya hati. Hatiku menangis. Air mata kutahan di tempat istirahatmu. Satu tahun lebih kau menempatinya.

"Selamat istirahat, Ra."

Branjang, 21 Desember 2022

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun