Mohon tunggu...
Jiebon Swadjiwa
Jiebon Swadjiwa Mohon Tunggu... Penulis

📖 Penulis | Jurnalis | Content Writer | Hidup untuk ditulis, menulis untuk hidup, dan apa yang saya tulis itulah diri saya!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

PUISI: Suara Bapak di Pangkalan vs Senyum Sang Menteri, Gas Melon Langka Karena Kepala Hilang Logika

4 Februari 2025   16:35 Diperbarui: 4 Februari 2025   16:38 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
situasi bapak-bapak protes ke Menteri Bahlil (ist)

Di pasar, tabung hijau berubah jadi legenda,

diceritakan di warung kopi dan antrean panjang.

Gas elpiji 3 kg, kini lebih sulit dicari

daripada keadilan dalam janji.

--

Di sudut kota, seorang bapak berteriak,

suaranya setajam pisau dapur yang tumpul.

"Saya lagi masak, Pak! Anak-anak kelaparan!

Logika berjalan dong, Pak, akal sehat jalan!"

--

Tapi sang menteri hanya menyengir kosong seperti kepalanya,

namun selalu penuh jika soal menyulitkan rakyat

"Kami sedang cari solusi," katanya mantap,

sementara ibu-ibu di belakang bapak itu

menghitung uang receh yang tak cukup

untuk harga yang terus merangkak.

--

Di layar kaca, sang menteri berani berbicara,

"Harga stabil, distribusi lancar."

Sementara di pangkalan, logika jadi pengemis,

menadahkan tangan di depan tabung kosong.

--

Akal sehat berjalan tertatih-tatih,

disalip oleh mafia yang punya peta jalan rahasia.

Subsidi jatuh ke saku yang salah,

sementara dapur rakyat terbakar tanpa api.

--

Di belakang layar, gas masih menghilang,

entah tersesat di jalan atau terserap ke dompet lain.

Sementara rakyat tetap menunggu,

menanak harapan di atas api yang tak menyala.

--

Dan di langit kota,

asap yang mengepul bukan dari tungku,

tapi dari amarah yang terlalu lama tertahan.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun