Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Jeruji Kenangan

29 Oktober 2016   15:23 Diperbarui: 29 Oktober 2016   15:35 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-o0o-

“Aaa...”

Gerbang mulutku buka. Dan kurva itu harap cemas menanti pemuas gairah kantung lambungku, sesuap yang kan berseluncur-ria lalui esofagus-ku. Tapi perempuan itu bergeming. Segenap minatnya terhisap oleh sihir sebuah benda di tangannya. Benda pipih selebar lima jari tangan dirapatkan. Benda kesayangan laksana belahan jiwa yang kehadirannya harus selalu dalam radius sehasta. Benda yang tak sekali-dua, ditemukan di bawah bantalku dan tentu memicu sumbu kemarahannya.

“Wuuk...”

Menit-menit berlalu. Jelaslah bila jerit-ronta perutku lapar bagaikan musik pengiring di telinganya. Kanopi lentik di mata cantik, tak menaik. Panggilanku hanya berbalas deham malas. Dan perempuan itu kembali menceburkan dirinya dalam ruang obrolan yang seru. Dari grup alumni, hinggap ke grup senam, lompat lagi ke grup majelis taklim, diseling selfi, lalu obral emoji, begitu seterusnya tangan dan jemarinya bermesraan di atas landasan android tipis bermemori gigantis demi terjaganya eksis.

“Aaa...”

Braakk!! Kursi malang itu dihentak kasar, nyaris terjungkal. Mangkuk bubur –yang sudah dingin, tentu– disambar. “Nih! Makan-makan!” katanya seraya menahan gereget saat menjejalkan suapan. Manik matanya mendelik lebar. Meniru matahari saat makar.

Uhuuks!! Entah karena ketidaksabarannya itu atau mulutku yang tak tertangkup benar, bubur itu lintang-pukang bahkan ketika belum mencapai bibirku, lalu menggelingsir lembut, meleleh seperti lava menuruni lereng gunung.

“Tu-tuuh, kan! Tadi ngga sabaran minta makan! Sekarang makanan dibuang-buang! Ampuun!”

Dalam gamamku, sepenggal kenangan melintaslah...

Aku teringat pada seseorang. Pada ritual makannya yang selalu berlangsung semarak. Kuntum bibirnya kecil menggemaskan, terus merepek karena urat sabarnya pendek, namun lucunya ia selalu kewalahan menampung suap demi suapan. Dan, entah bagaimana ia tak pernah kehilangan pesona, bahkan ketika wajahnya itu berbalur susu, bubur, jus dan rerupa makanan yang kuseleksi, kuracik ekstra hati-hati. Ia, begitu kecil, imut, dan yaah tentu saja, bungkah pipinya yang tembam penuh godaan itu sangat lihai memancing tawa bahagia.

“Augh! Kebiasaan deh! Berantakaaan!”

Gemetar kuhalau lelehan itu, bubur dingin encer dan liurku telah menyatu. Namun, tangan tremor-ku justru kian mengacau.

Aku iba pada perempuan itu. Untuk kesekian kali, aktifitasnya mesti terhenti. Hentakan kursi. Gebrakan meja. Sendok yang terus terjerembap hingga ngilu gusiku dibuatnya. Semua itulah manifestasi dari rasa frustasinya karena ketidak-mandirianku ini. Maka tinggallahku dalam cengkeraman rasa bersalah.

“Ya, ampun! Diem aja kenapa sih? Udah-udah, ngga perlu dilap-lap! Nanti aja sekalian kalo udah kelar! Uugh, makin berantakaaan deh!”

Murka itu datang lagi. Elok wajahnya silih berganti. Sebentar betari, sebentar raseksi. Pada akhirnya, harus kugugat diriku ini atas kesalahannya yang tak tahan pada risih. Kusadari seharusnyaku mengarca. Tak ada gerak, zero cakap. Maka kerja perempuan itupun pasti jauh lebih mudah. Tak perlu serepot kini.

Bilakah aku kan tampak lucu-unyu? Akan terbitkah tawanya andai mangkuk bubur tengkurapi keriput wajahku? Begitulah sebersit asa yang tak kupungkiri adanya. Namun angkaranya berkuasa di atas tawa.

Diam-diam lembar kenanganku kembali terpapar...

Arsip ingatan itu lagi-lagi terantuk pada seseorang. Pada sepasang kaki kecilnya yang tak jenak duduk diam. Berlari, menari, voete, berlompat, menjelajah setiap tempat. Tak peduli bulir nasi sebagai alas kaki. Susu tumpah dianggapnya bermain ski. Tak jarang, pada aksi tutup mulutnya, akupun harus berlaku bak seekor mamak gorila, agar bergeloralah tawanya. Dekade silam itu, tak terbetik lelah bila kukejar bahagia di sepasang kaki berdawai emas dan bergemerincing kala ia berlarian sembari membuang kencing.

“Dewa-bataraaa! Tobaat-tobil! Augh-augh, baunya! Ayo, bangun! Lekas bangun! Mandi-mandi!”

Aku terkesiap. Tapi, aah, segalanya telah lancap. Kadangku tak habis pikir, mengapa semua makanan enggan menetap lama di usang lambungku ini. Bubur, sereal, dan sejenisnya itu maunya tergesa menjelma urine dan tinja.

Dengan hati mengkal, direnggutlah kehormatanku. Dirampaslah penutup auratku. Dilucuti semua yang menutupi kerut-merut kulitku. Baiklah, kupahami memang ini rumahnya. Kuhanya momok menjemukan, tapi bukan begini caranya terhadap orang di tepi jurang masa kadaluarsa. Ini pelecehan seksual namanya. Kutautkan geraham ompong. Kutahu geramku itu sia-sia. Lemah kusembunyikan bebulir bening yang mengintip takut-takut di pelupuk mataku rabun.

“Tolong deeh, jangan makan mulu kerjaannya! Kecuali kalo kencing atau BAB bisa cebok sendiri! Auugh,ampuuun da-aah baunya!”

Diambilnya masker, sambil tak lupa memberiku wajah in-anger yang serem angker. Cerocosnya terus bergema. Seperti congor pistol mitraliur muntahkan pelor tak berjeda. Namun, kutak boleh merasa tersakiti. Juga takkan kutuntut perempuan itu. Bukan karenaku takut pada ancamannya menjebloskanku ke penjara manula atau pada runcing jarum suntiknya yang diakunya sebagai penawar ampuh bagi insomniaku, bukan! Tak lain karena perempuan itulah sejatinya korban dari ulah si Parkinson penyebab ketakberdayaanku ini.

Byuurr!! Moncong keran itu sesumbar. Tumpah ruah bercampur pedih desinfektan. Menerobos gigil tulangku mengeropos. Sanggupku hanya sumarah, ketika duburku menjerit perih, saat sarung tangan plastik anti kuman itu menggerus agresif. Di titik nadir, akupun tak tahan. Dengan suara tremor kumerintih lirih, “Pelan-pelanlah, Wuuk...”

Blupp!! Itulah jawaban. Beruntung bukan sumpah serapah bagai puting-beliung. Hanya sehelai handuk, kurasa. Ah, ya, benar, handuk buluk yang kini bertengger seperti jengger.

Sejenak gelap. Nafas tuaku tergelagap. Tanganku bergeletar antara gigil mencekam dan tendon-tendon yang mengendur. Kucoba raih handuk itu. Biarlah kubasuh sendiri tubuh cabul ini.

Dalam kepekatan itu, terbitlah secercah kenanganku...

Pada seraut wajah kuyup yang rindukan pelukan. Tangan kecilnya erat menggenggam mainan bebek-bebekan. Kudekap wajah kecilnya. Kualirkan sepenuh energi agar menghangatlah suhu tubuhnya. Demi air jernih yang senantiasa kusiram di atas sucinya itu, tak pernah sekalipun kusalahkan ambisinya yang sulit ditentang. Akulah si terdakwa, yang membiarkannya lama berendam dengan dalih kasih sayang. Akulah yang pantas dicambuk, karena bodoh dan menurut. Bila wajah kecil itu merengut.

Pada tubuh mungil itu, kuusap perlahan titik-titik air yang sembunyi di tiap lipatan, lalu kuurapi dengan minyak beraroma bayi. Di telinganya yang bertindik, kubisikkan puja-puji tentang betapa hebat dan berartinya ia. Kususupkan doa bahwa eksisnya sungguh luar biasa dan membuatku bahagia. Bahwa ialah mutiara. Hartaku tiada dua.

Tak butuh waktu lama, belaianku itupun menyihir matanya terpejam. Pijat lembutku menghantarnya pada lelap. Kidung nina-bobo-ku menenung lalu membingkainya dalam lukisan bertajuk Putri Cantik yang Terdampar di Pulau Mimpi.

Prosesi mandinya itu telah menjadi cakram kenanganku yang tak terlupakan. Bahkan bila Alzheimer bertekat melumpuhkan tiap sel ingatan.

“Makan sudah. Buang air sudah. Mandi sudah. Sekarang, kumohon tidurlah, tiduurr! Jangan terus menerus membuatku menderita, sengsara, stress yang lama-lama membuatku jadi gila!”

Perempuan cantik itu. Cetar suaranya selalu menciutkanku. Telingaku telah kebas. Namun lubuk hatiku ini masih bergas. Sungguh, kutak ingin perih mengiris pilu. Maka kutertatih menyingkir. Menjauh dari suaranya yang memetir.

Nyatanya hanya pada sesudut inilah, jarak terjauh yang sanggup kulangkah. Entah, entahlah. Mengapaku begitu lekas lelah. Mengapaku terlupa begitu mudah. Mungkin karenaku hidup terlampau lama sudah.

Dari hasil perabaan tongkat kayuku, nampaknyaku tak salah tempat. Tiba dengan selamat di zona tepat. Inilah balai-balai tempatku biasa melarung penat. Hmm, dengan bebau yang lumayan menyengat. Tapi sudahlah, orang seusiaku dilarang sambat. Malu, padaNya Yang Maha Memberi Nikmat.

Sebelum menutup mata, sayup kudengar deru roda kereta. Batuk, deham, dan gerutu saisnya. Keluh-kesah kenek di sisinya. Diskusi sengit tentang sebuah destinasi. Mufakat tercapai seiring bunyi berdebam daun pintu besi. Lalu semuanya benar-benar gelap.

-o0o-

Sepertinya aku tertidur cukup lama. Lebih dari adat biasa. Hmm, pasti dosisku telah ditambah. Barangkali, insomniaku sudah sedemikian parah.

Ada semburat yang menyilaukan. Namun ‘tah senja ataukah mentari pagi yang datang menyapa. Dinding putih bersihnya berbeda dengan sel lama. Ia kini kehilangan jam kuk-kuk dari jati tua. Ah, lagipula, waktu tak terlalu penting bagiku. Kuhanya perlu muadzin berseru maka dapat kutakar waktu yang tengah berputar.

Di manakah ini? Tempat asing ini terlampau hening. Layu bulu tengkukku sejenak merinding. Tak ada suara penggorengan beradu kompor. Tak ada kanak-kanak berlarian dalam jerit-tangis berebut mainan. Tak ada suara berat pria menggerutu dan berdeham. Tak ada raung mesin kendaraan yang mengguncang garasi. Tak ada kicau perkutut yang runtut. Tak ada krang-kring, riuh telepon berdering. Sesuara itu, senyap, tak terdeteksi. Hening cipta ini sungguh sangat tak biasa. Tak tahu, kemana lenyap si perempuan bersuara 200 dB itu. Atau...inikah Barzah, dunia para arwah?

“Apakah nenek sudah bangun?”

Oh, syukurlah, tegur sapa itu mengalun selembut kidung romansa. Lagi-lagi, aku seperti ketiban pulung, nyatanya tidur lamaku tak mengubahku jadi mayit, jasad busuk dalam kafan yang menggulung.

Kukerjapkan mata. Kucoba pindai sosok berjubah tak bernoda laiknya utusan Tuhan yang taat. Atau jangan-jangan ia benar seorang malaikat?

“Mau saya bantu duduk, Nek?”

Lalu ditegakkanlah aku dalam posisi yang sempurna. Mataku liar menjelajahi. Ingin kucari pembuktian bila ini benar bukan khayalan. Dan kuyakin, inipun bukan Sahara, lahannya fatamorgana. Dinding berornamen kaligrafinya begitu nyata. Sejuk di sekeliling pun sungguh terasa. Dan ini... ini bukan bebalai lapuk yang engselnya ramai berderak kala raga rapuhku berselerak. Kasur ini empuk. Spreinya lembut dan hangat. Bersih, juga steril dari bebau menyengat.

Bukan, ini bukan Barzah. Sebab bukan cemeti berduri berlidah api yang telah membangkitkanku. Dan, bukankah sapaan halus lembut itu tak berkata, “Man Rabbuka..?!”

“Nenek lapar atau mau minum?”

Dengar! Mustahil bukan, bila malaikat kembar akan bertanya demikian vulgar? Tak ada kesan religi sama sekali. Segala kuliner ditanyai.

Kemudian, akupun bersiap kerahkan daya, agar sendok baja ringan itu tidak bentrok di lembek gusiku. Dan kuterkejut, menyadari hingga suapan ke-5 ini, replika sekop itu seolah menjaga jarak. Sangat berhati-hati dalam bertindak. Yang lebih mencengangkan, ketika makanan nakal keluar dari sergap mulut kempot-peyot-ku, taruni ini gesit namun lembut menghalau.

“Siapakah engkau, wahai pemudi?” tanyaku usai tenagaku terisi penuh oleh nustrisi tinggi.

“Saya Rini, Nek. Herini Mustika Nawangsari. Saya baru lulus dari akademi gizi, sekarang diterima magang di sini.”

Bunga yang ramah, kubalas dengan cengir sumringah. Mendung pikiranku mendadak seterang purnama. Secara tak terduga, rasa nyamanku turut bermetamorfosa. Bahkan rabun mataku, tiba-tiba sejernih telaga. Bukan hal musykil, bila fenomena ini hadir karena sosok Rini, dengan tatap mata sepolos bocah, ceria dan hangat. Rekah senyumnya tebarkan ketulusan. Tegur sapanya lemah lembut dan sopan. Andai sosok pencipta  keajaiban ini adalah... Wiwuk.

“Ini sekarang rumah baru Nenek. Namanya Panti Wreda, Nek. Jangan khawatir, nenek pasti takkan kesepian dan akan sangat disayangi di sini,” penjelasan Rini begitu lugas tanpa pretensi.

Panti Wreda? Barzah memang sempat membuatku gelisah. Namun ‘wreda’, jelas membuatku terkesima. Bilakah aku tiba di sini? Di panti tempat para renta disatukan karena hegemoni takdir maut ada di pelupuk?

“Oh, begini ceritanya, Nek. Seorang wanita cantik berhati baik telah menemukan nenek terbaring pingsan di tepi jalan. Lalu dikirimkanlah nenek kemari.”

“Wiwuk... Apakah wanita itu, Wiwuk? Mengapa putri cantikku mengirimku kesini?”

“Maaf, Nek. Sepertinya wanita itu bukan putri nenek, deh. Menurutnya, beliau kebetulan tengah melintas lalu sekelompok orang memintanya mengantarkan nenek kemari.”

“Oh, begitu,” aku menyahut dengan vibra karena sebak di dada. Jadi inilah destinasi usai lorong gelap panjang yang berhasil kulalui.

Ada selingkuh makna dalam kata ‘terbuang.’ Barang rongsokanmu mungkin bisa jadi harta karun bagi orang lain. Tapi bagaimana dengan ‘barang’ yang berlima-indera rongsok, berjasad separuh bosok, bernyawa tinggal sebilangan esok??

Baiklah, lila-legawa kuterima selempang terbuang. Lalu kusodorkan sesuatu. Rini menimang itu. Dahi dan alisnya seolah ingin bersatu. Sorot matanya berjubal tanda-tanya. Pada sesuatu di tangannya. Sebuah benda tipis. Bermemori gigantis. Berkilau serupa pengilon magis. Cermin untuk style necis. Demi narsis dan terjaga eksis.

“Ini miliknya. Tolong kembalikan kepadanya, si wanita cantik berhati baik yang telah mengantarkanku dengan selamat ke panti penuh berkat. Dan sampaikan pula maaf tulusku, aku yang pikun dan renta ini, telah tak sengaja membawa benda kesayangannya,” Aku berkata dengan sesungging senyum getir sembunyikan lara.

Dalam kepasrahan, selapis demi selapis kenangan datang menghipnotis...

Sekeping mimpi telah singgah. Ah, tidak, mungkin ini hanya sekedar angan, mungkin juga sesisa asa pada seseorang yang kepadanya ingin kupinta sebesar-besarnya maaf atas hari-hari lelah merepotkan penuh lumpur penderitaan. Juga rasa terima kasih atas segala upaya yang telah dilakukannya untukku. Kini, kesempatan itu telah tercabut paksa tanpaku diberi waktu tuk berucap kata maaf dan terima kasih itu. Tinggallah ku... seorang diri, terbelenggu sunyi, di balik jeruji kenanganku nan tak terperi...

-Fin-

-[gambar: dokpri]-

Kamus mini:

Raseksi :  raksasa wanita (bhs. Jawa)

Sambat : mengeluh (bhs. Jawa)

Voete : berputar dengan satu kaki bertumpu pada ujung jari kaki pada penari balet

Bosok:busuk(bahs.Jawa)

Lila-legawa:ihlaslahirbatin(bhs.Jawa)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun