Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Jeruji Kenangan

29 Oktober 2016   15:23 Diperbarui: 29 Oktober 2016   15:35 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Augh! Kebiasaan deh! Berantakaaan!”

Gemetar kuhalau lelehan itu, bubur dingin encer dan liurku telah menyatu. Namun, tangan tremor-ku justru kian mengacau.

Aku iba pada perempuan itu. Untuk kesekian kali, aktifitasnya mesti terhenti. Hentakan kursi. Gebrakan meja. Sendok yang terus terjerembap hingga ngilu gusiku dibuatnya. Semua itulah manifestasi dari rasa frustasinya karena ketidak-mandirianku ini. Maka tinggallahku dalam cengkeraman rasa bersalah.

“Ya, ampun! Diem aja kenapa sih? Udah-udah, ngga perlu dilap-lap! Nanti aja sekalian kalo udah kelar! Uugh, makin berantakaaan deh!”

Murka itu datang lagi. Elok wajahnya silih berganti. Sebentar betari, sebentar raseksi. Pada akhirnya, harus kugugat diriku ini atas kesalahannya yang tak tahan pada risih. Kusadari seharusnyaku mengarca. Tak ada gerak, zero cakap. Maka kerja perempuan itupun pasti jauh lebih mudah. Tak perlu serepot kini.

Bilakah aku kan tampak lucu-unyu? Akan terbitkah tawanya andai mangkuk bubur tengkurapi keriput wajahku? Begitulah sebersit asa yang tak kupungkiri adanya. Namun angkaranya berkuasa di atas tawa.

Diam-diam lembar kenanganku kembali terpapar...

Arsip ingatan itu lagi-lagi terantuk pada seseorang. Pada sepasang kaki kecilnya yang tak jenak duduk diam. Berlari, menari, voete, berlompat, menjelajah setiap tempat. Tak peduli bulir nasi sebagai alas kaki. Susu tumpah dianggapnya bermain ski. Tak jarang, pada aksi tutup mulutnya, akupun harus berlaku bak seekor mamak gorila, agar bergeloralah tawanya. Dekade silam itu, tak terbetik lelah bila kukejar bahagia di sepasang kaki berdawai emas dan bergemerincing kala ia berlarian sembari membuang kencing.

“Dewa-bataraaa! Tobaat-tobil! Augh-augh, baunya! Ayo, bangun! Lekas bangun! Mandi-mandi!”

Aku terkesiap. Tapi, aah, segalanya telah lancap. Kadangku tak habis pikir, mengapa semua makanan enggan menetap lama di usang lambungku ini. Bubur, sereal, dan sejenisnya itu maunya tergesa menjelma urine dan tinja.

Dengan hati mengkal, direnggutlah kehormatanku. Dirampaslah penutup auratku. Dilucuti semua yang menutupi kerut-merut kulitku. Baiklah, kupahami memang ini rumahnya. Kuhanya momok menjemukan, tapi bukan begini caranya terhadap orang di tepi jurang masa kadaluarsa. Ini pelecehan seksual namanya. Kutautkan geraham ompong. Kutahu geramku itu sia-sia. Lemah kusembunyikan bebulir bening yang mengintip takut-takut di pelupuk mataku rabun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun