Mohon tunggu...
Jarang Makan
Jarang Makan Mohon Tunggu... Freelancer

Penggemar content manajemen, pengembangan diri, dan fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Meniti Jalanan Setapak 52

30 Agustus 2025   18:07 Diperbarui: 6 September 2025   15:17 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Di sebuah panggung penjagaan, dua pemuda berusaha menahan kantuk demi menjalankan tugas jaganya. Panggung penjagaan itu berada di pinggiran wilayah pemukiman Desa Merak. Di sisi panggung itu terdapat sebuah perapian kecil dari gerabah. Di dalamnya terdapat arang yang membara, menghangatkan periuk beserta isinya yang bertengger di atas tungku itu. Dua pemuda tersebut sesekali berbincang sambil menikmati minuman hangat.

Di sela-sela keriuhan suara jangkrik, sayup terdengar derap kuda dari kejauhan. Dua pemuda penjaga itu saling berpandangan sejenak, lalu turun dari panggung dan melangkah ke tengah jalan. Menanti siapa saja yang akan datang memasuki Desa Merak. Sebagai persiapan, sebuah tombak pendek yang sederhana tergenggam di tangan mereka.

Langkah-langkah kuda itu semakin mendekat. Sebelum memasuki tempat penjagaan, langkah kuda-kuda itu melambat. Sesaat setelah api penerangan menimpa wajah-wajah penunggang kuda, dua pemuda penjaga segera mengenali kelompok yang baru saja datang itu.

"Ki Jeri?!" "Ki Sriram?!"

Dua pemuda itu berkata bersamaan.

"Bukankah rencananya Anda baru tadi pagi berangkat? Kalau tidak salah juga, akan melakukan perjalanan jauh. Mengapa sudah kembali?" tanya seorang pemuda.

"Perasaan kami tidak tentram, jadi kami kembali lagi," jawab Ki Jeri. "Bagaimana kawanan perampok itu? Apakah mereka sudah datang?"

"Waktu giliran kami berkeliling, situasi masih sepi, Ki. Nggak tahu lagi kalau sekarang."

"Hmm, baiklah," jawab Ki Jeri. "Kalau begitu kami akan langsung saja."

"Silahkan, Ki."

"Nak, terima kasih sudah membantu mengamankan desa kita," ucap Ki Sriram kemudian.

"Iya, Ki. Sama-sama," ucap dua pemuda itu.

Ki Sriram dan kelompoknya pun melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Keheningan malam mendominasi suasana Desa Merak. Semua warga tentu sedang larut dalam mimpinya masing-masing.

Ki Jeri meminta berhenti di sebuah lokasi yang terlindung sebelum mendatangi rumah Ki Sriram. Ia meminta Ki Wacik mengamati rumah Ki Sriram terlebih dahulu sebelum mendatanginya. Ketika Ki Wacik mengamati, pagar depan sedikit terbuka dan seorang penjaga yang belum pernah dikenal olehnya berjaga di situ. Walau begitu, Ki Wacik mengenal tanda prajurit magang yang dikenakan si penjaga muda.

Ketika Ki Wacik berjalan mendekat dan sekilas melirik situasi yang ada di balik pagar, ia terkejut. Ia melihat beberapa orang terduduk di tanah dengan tangan terikat.

"Permisi Nak, kamu prajurit magang yang datang bersama Ki Datok?" Ki Wacik bertanya.

Prajurit magang itu heran karena orang yang datang mengenali dirinya dan pemimpinnya. Ia pun bertanya, "Maaf, Anda ini siapa?"

"Saya pengawalnya Ki Sriram, kami baru saja datang," jawab Ki Wacik. "Sepertinya semuanya sudah terjadi dan sepertinya kawanan rampok itu berhasil ditangkap?"

"Oh begitu. Kalau begitu silahkan masuk, Ki," prajurit magang itu mempersilahkan.

Ki Wacik memberikan isyarat sebelum Ki Jeri dan Ki Sriram muncul dari tempat yang agak gelap di kejauhan. Mereka pun memasuki halaman.

Situasi bekas pertempuran pun terlihat. Sebagian taman di halaman depan terlihat berantakan. Beberapa patung hias tidak lagi utuh. Tanaman hias beberapa hancur terinjak-injak. Daun pintu depan utama tersandar di dinding, tidak pada tempatnya.

Lentera penerangan dinyalakan semua, memperlihatkan beberapa tubuh berbaring di lantai. Selain itu ada juga yang hanya duduk terdiam bersandar dinding. Di sisi lain ruangan dalam, terdapat dua tubuh yang seluruhnya ditutupi kain. Drama penyergapan ini ternyata sampai merenggut korban nyawa.

Ki Sriram mendekati seseorang yang agak berumur yang merupakan Kepala Desa dan kemudian menyapa, "Selamat malam Ki Kades."

"Ki Sriram langsung kembali dari perjalanan?" Kepala Desa bertanya setelah menjawab sapaan dari Ki Sriram.

"Iya, Ki. Maksud hati ingin membantu yang di sini. Apa daya semua sudah teratasi ketika kami datang."

"Terima kasih karena sudah begitu peduli. Tapi tenang saja, Ki Sriram. Pasukan gabungan pimpinan Ki Datok dan Ki Jagabaya berhasil mengalahkan gerombolan perampok ini," jawab Kepala Desa tenang.

"Lalu bagaimana dengan korban yang meninggal? Siapa mereka?"

"Mereka semua anggota gerombolan perampok."

Ki Sriram bisa merasa lebih tenang sekarang. Walau rumahnya sedikit berantakan, tapi gerombolan perampok yang selama ini membuat resah sudah berhasil ditumpas. Sementara, Ki Jeri melaporkan penangkapan Vikra dan Bajra kepada Ki Datok. Beberapa kawanan yang menyerah dan tidak terluka serius sedang dimintai keterangan.

Di saat pagi mulai mengisi suasana Desa Merak, para penduduk menjadi heboh karena kejadian semalam. Orang-orang berucap syukur dan lega karena keberhasilan penyergapan kawanan yang selama ini membuat resah justru terjadi di desa mereka.

Mereka silih berganti mendatangi aula desa demi menonton hasil penangkapan tadi malam. Namun tentu saja keinginan mereka ini tak bisa terpuaskan sepenuhnya. Bagaimanapun juga ini bukan sesuatu yang bisa ditonton bebas selayaknya pertunjukan. Terdapat batasan sampai kadar tertentu demi menjaga ketertiban. Sedangkan bagi korban yang meninggal, mereka pagi itu segera dimakamkan di kuburan desa.

Demikianlah, khusus di hari ini semua pembicaraan di Desa Merak berkutat seputar peristiwa keberhasilan penangkapan kawanan perampok pimpinan Ki Roso dan Ki Warkes. Bondalika dan penghuni lainnya yang sebelumnya mengungsi ke rumah kakeknya, hari ini bisa kembali. Orang tua Ki Sriram yang sebelumnya tidak tahu menahu, akhirnya mendengar kejadian yang menimpa kediaman anaknya tersebut.

Dua hari berikutnya, Bondalika mendatangi Ki Rana, guru baca tulisnya bersama Widura. Ia datang sendirian sebagai ganti dirinya yang tidak hadir di pertemuan sebelumnya. Ia menceritakan kejadian yang dialami keluarganya serta peran Widura, Ratri, bersama teman yang lain dalam membantu para prajurit menangkap perampok.

"Bagaimana kesan kamu kepada Widura dan Ratri saat ini?" tanya Ki Rana setelah Bondalika selesai bercerita.

"Anak itu berani dan baik hati, Ki."

"Apa kamu masih ingat? Bagaimana sikapmu kepada mereka saat baru bertemu pertama kali?"

Bondalika melayangkan ingatannya. Ketika pertama kali bertemu Widura dan Ratri sikapnya sombong dan meremehkan. Saat berburu bersama di hutan, dirinya yang berlagak kuat dan berani ternyata ketakutan saat bertemu anjing hutan.

"Bagaimana?" Ki Rana bertanya kembali.

"Iya, Ki. Sikap saya tidak baik."

"Untunglah kamu sudah mengubah sikapmu kepada mereka sebelumnya. Bagaimana jika kamu tetap bertahan dengan sikapmu hingga membuat mereka membenci kamu. Lalu mereka jadi masa bodoh dengan urusan ini. Coba renungkan, apa yang bakal terjadi?"

Bondalika mengambil napas panjang. Ia tidak berani membayangkan bila itu terjadi sebaliknya.

"Saya tidak berani membayangkannya, Ki."

"Sampai di sini, apakah kamu bisa menyimpulkan sesuatu?"

Bondalika sejenak berpikir sebelum berkata, "Saya harus bersikap baik dengan Widura karena ia sudah banyak menolong saya."

Ki Rana tersenyum tipis-tipis dan mengangguk. Lalu ia berkata, "Kesimpulan kamu bagus, Nak. Tapi ada yang perlu ditambahkan sedikit. Yaitu orangnya. Jangan cuma kepada Widura saja. Tapi kepada semua orang."

Ki Rana berhenti sebentar, memberi kesempatan Bondalika mencerna ucapannya.

"Berusahalah bersikap baik kepada siapa saja yang kamu temui. Karena kita senantiasa membutuhkan kebaikan dari orang lain. Bagaimana bisa kamu akan mendapat kebaikan dari orang lain jika kamu berbuat kurang baik kepada mereka?"

Bondalika manggut-manggut sembari berusaha mencerna ucapan gurunya, sedikit demi sedikit ia mulai paham.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun