Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Naftali [3]

4 Oktober 2022   23:00 Diperbarui: 4 Oktober 2022   23:02 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sekali lagi Thiru memandangi makanannya, lalu serta-merta merancukan nasi dengan sambal hingga seluruhnya merah seperti nasi goreng Padang. Bahkan merahnya pekat. Kupikir kalau banyak pelanggan seperti Thiru, McDonald's di Indonesia akan merugi karena konsumsi sambal yang berlebihan.

Lalu ia menyuwir daging ayam itu dengan hati-hati, memasukkan potongannya ke mulut, mengunyah pelan, meraup sejumput nasi merah, mengepalkannya di telapak tangan, mengayun-ayunkan pelan di depan dada, melemparkan kepalan itu ke gua mulutnya. Aku sungguh tak berkedip menyaksikan gerak teaterikal itu.

Mulutnya tertutup sopan saat mengunyah seperti kaum terpelajar. Ia terus mengulang kegiatan menyuwir potongan ayam, memasukkannya ke gua mulut, meraup nasi, mengayun, memadatkan, melemparnya ke gua mulut. Aku bergeming. 

Tiba-tiba ia memandangku, bertanya, kenapa tidak makan. Hampir aku tersedak karena kaget dengan tatapan matanya yang tajam. Aku mengusir gourmet ke tenggorokanku dengan teh lemon sesegera mungkin. 

Sesuatu melayang-layang di kepalaku. Di zaman millenium yang serba-silver ini, kalian tak akan percaya melihat pemandangan ini. Di hadapanku, duduk seorang craft engineer, lulus dengan pujian dari universitas terkemuka Inggris, makan nasi berlumur sambal dengan tangannya sendiri, yang hitam. Bagaimana menamai pemandangan itu dengan sebutan yang pantas?

"Kamu suka sambal, ya?" tanyaku. Mendengar pertanyaanku sendiri, aku merasa aneh.

"Ya. Sambal belacan," jawab Thiru, tak peduli.

"Belacan Penang sangat terkenal," ucapku lagi, tak penting.

"Is it?" Dia memandangku, berkata lagi, "Mungkin. Saya baru dengar."

Bagian mana tadi yang bikin aku penasaran? Oya, ini. Angka 1988. Tahun berapa sekarang? Apakah 1988 menunjukkan waktu peristiwa acara atau tahun perkumpulan itu berdiri?

"Thiru, di kausmu tertulis 7 Mei 88. Itu tahun berdirinya perkumpulan atau berlangsungnya acara?" tanyaku tak tahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun