Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Naftali [3]

4 Oktober 2022   23:00 Diperbarui: 4 Oktober 2022   23:02 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Oh, ini. Itu berlangsungnya acara. Apa kamu tidak bisa baca?"

"Artinya kaus itu sudah 17 tahun?" tanyaku.

"Ya, kenapa? Kaus ini kualitasnya baik, arah benang tak berubah meski dicuci berulang kali di mesin. Kamu lihat sendiri. Tak ada alasan untuk membuangnya. Lagi pula kaus ini saksi sejarah aku pertama bekerja di perusahaan ini. Baru sehari aku bekerja di Miri, lalu acara ini diadakan."

"Ya, pasti banyak kenangan. Tetapi seharusnya kaus itu sudah dimuseumkan," gurauku.

Tiba-tiba wajah Thiru berubah. Kegiatan makannya berhenti. Ia meletakkan kedua tangannya di meja, ujung-ujung jari tangan kanannya berlumuran darah, sambal maksudku. Ia memandangku dengan pandangan aneh sampai dadaku berdebar tak keruan melihatnya seperti itu. 

Lalu dengan sungguh-sungguh ia berkata bahwa ia tak akan memberikan barang-barang miliknya kepada siapa pun meski kelihatan tak berharga. Ia mengangkat tangannya ke udara, melakukan gerakan menepis. Lalu ia meneruskan makan, tak peduli. Aku akan selalu berhemat untuk apa pun, tidak terbiasa membeli sesuka hati, katanya lagi.  

"Maaf. Aku tak bermaksud begitu," ucapku, menyesal.

Thiru mengangguk menerima maafku tapi sinar matanya telanjur redup. Aku menjulurkan tangan kanan untuk menyentuh tangan kirinya, namun ia menolakku. Suasana hangat berubah dingin. Aku salah, tapi aku membela diri dalam hati.

Orang biasa menguras isi lemarinya, memisahkan pakaian yang masih bisa dipakai dan tidak. Lagi pula kaus itu sudah tujuh belas tahun. Kalau dia mau menyimpannya, itu tak masalah buatku, meski aneh. 

      Sunyi di udara. Thiru menekuni makanannya dengan gerak rutin seperti makan adalah sebuah kegiatan khusyuk. Tentu makan adalah sebuah kekhusyukan. Untuk menyambung hidup dan memenuhi ketersediaan makanan dalam darah. Untuk menghargai makanan, petani,  tanah, ibu bumi. Untuk bersyukur kepada Pencipta yang menumbuhkan segala jenis tanaman makanan. 

Tetapi apa sebegitu serius? Sesuatu di dalam diriku tersentuh. Aku mengambil kesimpulan: laki-laki ini melakukan hal-hal yang sederhana. Tidak mengada-ada atau berusaha membuatku terkesan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun