Aku mengangguk. Itu juga kebiasaan Nana, batinku. Dia menasihatiku seperti itu. Tak ada masalah buatku. Thiru membersihkan tangannya dari segala "kekotoran" makanan dan kembali ke meja dengan wajah penuh pertanyaan. Â Â
"Kita check-in dan menunggu di ruang tunggu. Naik pesawat apa?" tanyanya.
"Garuda."
"Garuda? Garuda lebih mahal dari penerbangan lain. Kenapa tidak yang murah?" Nadanya masih datar.
"Hmm...."Â
"Ya, tentu saja. Kau bisa memilih apa saja sesuai keinginanmu. Kamu boros," katanya, menyimpulkan dari keraguanku.
Aku tidak bahagia dengan pendapatnya. Lalu dengan bibir terkatup pandangannya mengarah ke koper Louis Vitton-ku. Aku berdebar. Rasanya tak mungkin laki-laki hitam kering itu akan mengagumi tasku lalu dengan murah hati memujiku.
"Kita hanya pergi tiga hari. Kenapa bawa barang sebanyak itu?" tanyanya. Mulutnya hampir tak terbuka ketika mengatakan itu. Â
"Koper ini yang biasa saya bawa untuk bepergian dua atau tiga hari," jawabku lancar.Â
"Baiklah, Miss Princess. Ayo!"
Kami check-in dan duduk di ruang tunggu yang luas dan tak banyak orang. Aku mengambil tangan Thiru dan memperhatikan telapak dan punggung tangannya yang seluruhnya kasar dan kering, satu-dua bagian bahkan kapalan.Â