Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote, Meredam Langit | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keyboard Mustofa

16 Oktober 2025   08:08 Diperbarui: 15 Oktober 2025   18:45 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Kevin Ku: https://www.pexels.com

AKU hanya lulusan SMA yang tidak punya uang untuk kuliah. Kerja di warnet pinggir jalan, di daerah Cibinong. Gaji sebulan dua juta. Pas-pasan. Mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan.

Sampai akhirnya Bang Rizal datang suatu sore. Dia kakak kelasku dulu waktu SMP. Sekarang naik mobil Honda Jazz. Kemejanya bagus sekali. Jam tangannya besar dan kinclong.

Mungkin itu yang disebut takdir, entah angin dari mana yang membawanya tiba-tiba muncul di warnet kecil di pinggir jalan ini. Katanya ada yang memberikan informasi kalau aku kerja di sini. 

"Mustofa, lo mau kerja nggak? Gampang. Duduk di rumah. Modal HP sama laptop. Gaji lima juta sebulan. Kalau rajin bisa sampai sepuluh juta," katanya sambil nyodorin kartu nama.

Lima juta. Dua kali lipat gaji sekarang.

"Kerja apa, Bang?"

"Admin medsos. Gampang. Lo bikin konten, post di Twitter, Facebook, Instagram. Gue kasih arahan, lo eksekusi. Gitu-gitu aja, gampang kan?"

Kedengarannya mudah. Aku langsung setuju. Tidak perlu berpikir panjang.

Seminggu kemudian, aku sudah punya sepuluh akun Twitter palsu. Sepuluh akun Facebook. Lima akun Instagram. Semua dengan nama dan foto yang berbeda-beda. Ada yang pakai nama Budi Santoso. Ada yang Sri Wahyuni. Ada yang Joko Prasetyo.

Bang Rizal memberikan aku berkas dalam format Excel. Di dalamnya ada ratusan narasi yang harus aku posting. Jadwalnya juga sudah ditentukan. Jam berapa. Hari apa. Pakai akun mana.

Hari pertama, narasinya masih wajar. "Pak Camat peduli rakyat kecil. Buktinya jalan kampung diperbaiki." Aku post pakai akun Budi Santoso. Dapat like lumayan.

Hari kedua, mulai agresif. "Lawan politik hanya bisa janji. Tidak ada bukti kerja nyata." Aku post pakai akun Sri Wahyuni.

Hari ketiga, lebih personal. "Ketua RT sebelah ternyata punya istri simpanan. Katanya alim, ternyata munafik."

Aku ragu. "Bang, ini beneran? Apa cuma fitnah?"

Bang Rizal ketawa. "Lo kerja aja. Urusan benar salah, itu bukan tanggung jawab lo. Lo cuma eksekutor. Gue yang tanggung jawab."

Aku diam. Lima juta. Aku butuh uang itu. Ya. Lima juta.

***

BULAN kedua, pekerjaanku makin serius. Bang Rizal minta aku bikin hashtag trending. #TolakPakJahil. Pak Jahil adalah kandidat lawan majikan Bang Rizal di Pilkada Kabupaten.

Aku bikin ratusan tweet dengan hashtag itu. Pakai semua akunku. Koordinasi dengan buzzer lain. Dalam tiga jam, hashtag itu trending nasional.

Keesokan harinya, media mainstream memberitakan. "Masyarakat menolak Pak Jahil karena dianggap tidak kompeten."

Padahal masyarakat itu cuma aku dan puluhan buzzer lain yang dibayar.

Aku melihat Pak Jahil di TV. Dia membantah semua tuduhan. Wajahnya lelah. Dia terlihat sangat kecewa. Dia bilang semua itu fitnah. Tapi tidak ada yang percaya. Netizen sudah terlanjur marah.

Aku merasa tidak enak. Tapi aku tutup mata. Lima juta sudah masuk rekening. Aku hanya bisa tersenyum.

***

BULAN ketiga, Bang Rizal kasih tugas baru. "Mustofa, lo bikin video. Edit video Pak Jahil lagi pidato. Potong bagian tertentu. Bikin seolah-olah dia menghina agama."

"Tapi Bang, itu hoax. Itu manipulasi."

"Lo mau lima juta atau nggak? Kalau nggak mau, ada orang lain yang siap."

Aku diam. Lima juta. Ya. AKu butuh. Ibu sakit harus segera dioperasi. Adikku butuh biaya untuk sekolahnya.

Aku bikin video itu. Potong di bagian tertentu. Buat konteks jadi berbeda total. Upload di YouTube dengan judul provokatif. "CALON BUPATI MENGHINA AGAMA! SEBAR SEBELUM DIHAPUS!"

Video itu viral. Jutaan views. Ribuan komentar. Orang-orang yang melihat video itu marah. Ada yang ancam mau bakar rumahnya. Ada yang mau habisi Pak Jahil.

Keesokan harinya, aku baca berita. Rumah Pak Jahil dilempari batu. Anaknya diintimidasi di sekolah. Istrinya menangis di depan wartawan. "Suami saya tidak pernah bilang seperti itu! Ini fitnah!"

Tapi sudah terlambat. Opini publik sudah terbentuk.

***

HARI pemilihan tiba. Majikan Bang Rizal menang telak. Pak Jahil kalah. Elektabilitasnya hancur gara-gara kampanye hitam yang kami lakukan.

Malam pengumuman hasil, Bang Rizal menyuguhi kami makan malam di restoran mahal. Ada dua puluh buzzer. Kami rayakan kemenangan.

"Kalian semua hebat! Berkat kerja keras kalian, bos kita menang! Ini bonus buat kalian!" Bang Rizal kasih amplop ke masing-masing dari kami. Isinya sepuluh juta.

Sepuluh juta. Aku tersenyum. Tapi senyum itu terasa hambar. 

Di layar TV restoran, aku melihat Pak Jahil konferensi pers. Dia nyatakan menerima kekalahan. Wajahnya lelah. Sorot matanya terlihat hancur.

"Saya memaafkan semua yang sudah memfitnah saya. Saya berserah pada Yang Maha Adil. Kebenaran akan terungkap suatu hari," katanya dengan suara bergetar.

Aku kehilangan selera makan malam itu. 

***

DUA minggu setelah pilkada, aku jalan di pasar. Tiba-tiba aku lihat Pak Jahil. Dia sendirian. Belanja sayur di salah satu kios kecil. Tidak ada pengawal. Tidak ada orang-orang yang biasanya selalu menghalau kerumunana. Dia sudah bukan siapa-siapa lagi.

Aku bersembunyi di balik tenda. Mengamatinya. Dia kelihatan lelah. Rambutnya memutih. Bahunya membungkuk.

Tiba-tiba dia berbalik. Mata kami bertemu. Aku kaget. Mau lari. Tapi kaki tidak bergerak. Dia mendekat. Lalu, berdiri di depanku.

"Mas. Apa kabar?" sapanya. Suaranya ramah. Lembut.

Aku tidak bisa menjawab. Kerongkonganku kering.

"Saya kenal wajah Mas. Sering muncul di akun-akun yang menyerang saya waktu kampanye. Mas salah satunya, ya?" tanyanya tenang.

Aku ingin menyangkal. Tapi mulutku terkunci.

"Tidak apa-apa. Saya tidak marah. Saya tahu Mas cuma kerja. Cari makan. Saya paham kok kesulitan orang kecil," katanya sambil tersenyum meskipun miris.

Dia tepuk bahuku. Lalu pergi. Meninggalkan aku yang terdiam terpaku.

Aku berdiri di situ lama. Orang-orang berlalu lalang. Tapi aku tidak bergerak.

Pak Jahil memaafkan aku. Tapi aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.

***

BUPATI baru dilantik. Majikan Bang Rizal. Dia berpidato tentang anti korupsi, pro rakyat, transparansi.

Tapi seminggu setelah dilantik, Bang Rizal datang lagi.

"Mustofa, ada kerjaan baru. Sekarang kita harus bela bos dari kritik. Media mulai ngangkat isu tender proyek yang tidak transparan. Lo harus gencarkan narasi bahwa itu hoax. Itu ulah lawan politik."

"Tapi Bang, kalau memang ada masalah tender, kenapa kita tutupin?"

"Lo tanya kenapa? Gampang. Karena lo dibayar buat tutupin. Lo mau kerja apa nggak?"

Aku diam. Aku melihat laptop di depanku. Sepuluh akun Twitter palsu masih login. Keyboard menunggu untuk dijentikkan.

"Gaji lo naik jadi delapan juta kalau lo mau lanjut," tambah Bang Rizal.

Delapan juta. Aku termenung sesaat. Operasi ibu sudah selesai. Berhasil tidak ada kendala. Tapi sekarang adikku mau masuk kuliah. Butuh biaya. Tentu saja.

"Gue... gue pikir-pikir dulu, Bang."

Bang Rizal mengernyitkan keningnya. "Pikir? Woi... kalau lo masih mau kerja jangan kebanyakan mikir. Besok gue mau hasilnya."

Dia pergi. Aku sendirian di warmindo tempat biasanya kami berdiskusi tentang isu-isu yang harus dikerjakan.

Aku ingat wajah Pak Jahil. Aku ingat video hoax yang kubuat. Aku ingat hashtag yang kubikin trending. Aku ingat semua kebohongan yang kusebar.

Aku ingat juga wajah Ibu yang tersenyum setelah operasi. Wajah adikku yang senang bisa kuliah.

Semuanya dari uang ini. Uang kotor. Uang haram. Uang fitnah. Entah uang apa lagi namanya.

Aku tutup laptop lalu pulang. Setibanya di kamar aku berbaring di kasur. Menatap langit-langit kamar yang retak-retak.

Ponselku berbunyi. Pesan dari Bang Rizal. "Gimana? Lo lanjut atau nggak?"

Jariku melayang di atas keyboard. Mau ngetik apa? Mau jawab apa? 

Aku melihat pantulanku di layar HP yang gelap. Wajah Mustofa. Buzzer. Penyebar hoax. Pembunuh karakter.

Aku menaruh HP. Memejamkan mata.

Besok aku akan jawab. Malam ini, aku hanya ingin tidur. Dan bermimpi jadi Mustofa yang lain. Mustofa yang masih punya hati nurani. [IM]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun