***
HARI pemilihan tiba. Majikan Bang Rizal menang telak. Pak Jahil kalah. Elektabilitasnya hancur gara-gara kampanye hitam yang kami lakukan.
Malam pengumuman hasil, Bang Rizal menyuguhi kami makan malam di restoran mahal. Ada dua puluh buzzer. Kami rayakan kemenangan.
"Kalian semua hebat! Berkat kerja keras kalian, bos kita menang! Ini bonus buat kalian!" Bang Rizal kasih amplop ke masing-masing dari kami. Isinya sepuluh juta.
Sepuluh juta. Aku tersenyum. Tapi senyum itu terasa hambar.Â
Di layar TV restoran, aku melihat Pak Jahil konferensi pers. Dia nyatakan menerima kekalahan. Wajahnya lelah. Sorot matanya terlihat hancur.
"Saya memaafkan semua yang sudah memfitnah saya. Saya berserah pada Yang Maha Adil. Kebenaran akan terungkap suatu hari," katanya dengan suara bergetar.
Aku kehilangan selera makan malam itu.Â
***
DUA minggu setelah pilkada, aku jalan di pasar. Tiba-tiba aku lihat Pak Jahil. Dia sendirian. Belanja sayur di salah satu kios kecil. Tidak ada pengawal. Tidak ada orang-orang yang biasanya selalu menghalau kerumunana. Dia sudah bukan siapa-siapa lagi.
Aku bersembunyi di balik tenda. Mengamatinya. Dia kelihatan lelah. Rambutnya memutih. Bahunya membungkuk.