Air mataku jatuh membasahi kain kafannya. "Kakak udah kerja keras. Tapi enggak pernah bisa cukup. Enggak pernah cukup." Tangisku berhamburan.
***
Aku kembali ke Jakarta setelah pemakaman. Kembali ke pabrik sialan itu. Kembali ke mesin-mesin yang berdentang keras menghantam takdirku.
Sekarang aku kerja di bagian pengemasan. Tangan kananku sering sakit. Jari telunjukku kaku. Tidak berguna. Benar-benar tidak lagi berguna.
Aku melihat mesin nomor 7. Sudah diperbaiki. Sekarang ada pekerja baru yang pakai. Perempuan muda. Mungkin sekitar umur 20 tahunan.
Dia belum tahu mesin itu dulu merenggut jariku. Dulu nyaris merenggut hidupku. Dulu... menjadi awal dari kehancuran keluargaku.
Aku ingin bilang ke dia: hati-hati.
Tapi, aku tidak bilang apa-apa. Aku hanya berjalan melewatinya. Menuju bagian pengemasan. Mengangkat kardus yang berat. Merasakan sakit di jari telunjukku yang rusak.
Sore nanti, aku akan terima gaji. 1.8 juta. Dikurangi cicilan hutang. Sisa 1.3 juta. Kirim ke kampung 1 juta untuk Bapak dan Ibu. Sisa 300 ribu untuk hidup sebulan.
Begitu seterusnya. Setiap bulan. Sampai utang lunas. Sampai aku tua. Sampai aku tidak kuat lagi.
Dan aku tahu, suatu hari nanti, mungkin mesin lain akan rusak. Pekerja lain akan kecelakaan. Jari lain akan robek. Atau lebih parah.