Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote, Meredam Langit | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mesin Nomor 7

13 Oktober 2025   08:38 Diperbarui: 13 Oktober 2025   08:38 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Leticia Ribeiro : https://www.pexels.com

SUARA mesin jahit berdentang keras. Ribuan mesin. Ribuan tangan bergerak cepat. Kain merah. Kain biru. Kain hitam. Semuanya bergerak di bawah jarum yang naik turun, naik turun, tanpa henti.

"PONIYEM! LEBIH CEPAT! TARGET KAMU MASIH 200 POTONG LAGI! JAM 6 HARUS SELESAI!"

Suara Pak Hendro, mandor, menggema di lantai produksi. Aku mengangguk tanpa menatapnya. Tanganku bergerak lebih cepat. Kaki menginjak pedal mesin. Jarum bergerak lebih kencang.

Keringatku bercucuran. Punggungku pegal. Mataku perih. Tapi aku tidak boleh berhenti. Kalau target tidak tercapai, gaji dipotong.

Aku, Poniyem, 24 tahun, sudah empat tahun kerja di pabrik garmen PT Maju Tekstil. Gaji dua juta dua ratus ribu sebulan. Kerja 12 jam sehari. Senin sampai Sabtu. Minggu kadang lembur kalau ada order mendesak. Dapat tambahan seratus ribu per hari lembur.

Uang itu semua kukirim ke kampung. Untuk Bapak yang sakit stroke. Untuk Ibu agar bisa membuatkan makanan di rumah. Untuk adikku, Lastri, yang SMA kelas 3.

Aku di sini sendirian. Ngekos di kamar kecil. Berbagi dengan tiga orang lain. Tidur bergiliran karena kasurnya cuma dua. Makan sekali sehari. Sisanya mie instan. 

Aku tidak pernah mengeluh. Ini demi keluarga. Demi Lastri yang otaknya encer, dia pintar. Dia harus kuliah. Dia harus punya masa depan yang lebih baik dari aku.

Jarum mesin tiba-tiba bergerak sangat cepat. Kecepatannya tidak normal. Aku coba perlambat dengan mengangkat kakiku dari pedal, namun mesin itu tetap saja meraung-raung, tidak bisa berhenti. 

"PAK HENDRO! MESIN SAYA RUSAK!" teriakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun