"Poniyem... Lastri... Lastri sudah pergi, Nak.".
"Apa?"
"Lastri meninggal tadi pagi. Dia... dia tidak kuat. Sakitnya terlalu lama. Kita tidak punya cukup uang untuk pindah ke rumah sakit besar..."
Aku jatuh terduduk. Ponsel jatuh dari tangan.
Lastri. Adikku. Yang pintar. Yang harusnya kuliah setelah lulus SMA. Yang harusnya punya masa depan cerah.Â
Meninggal. Karena aku tidak punya cukup uang untuk biaya rumah sakit. Karena aku kecelakaan kerja. Karena perusahaan tidak mau tanggung jawab.
***
Aku pulang kampung. Pakai uang pinjaman lagi. Untung saja masih ada teman-teman yang baik mau meminjamkan dan sebagian mereka berikan sebagai uang belasungkawa.
Aku menatap Lastri setibanya di rumah yang dipasangi bendera kuning. Wajahnya pucat. Kurus. Tidak seperti Lastri yang dulu selalu ceria.
Ibu menangis tanpa henti. Bapak tidak bisa bergerak karena stroke. Dia hanya menatap wajah adikku dengan matanya yang kosong.
Aku berlutut di sampingnya. Menyentuh pipinya yang dingin. "Maafin Kakak, Lastri. Kakak enggak bisa selamatin kamu. Kakak gagal."