Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keangkuhan Sedang Menggangkangi Pikiranmu

29 April 2024   08:08 Diperbarui: 29 April 2024   08:15 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Ajay Gill: pexels.com

Mak Milah contohnya, dia memang kerap sepemikiran dengan Mak Itam, tapi lebih sering berseberangan dengannya, dalam banyak hal terutama tentang khotbah yang sering digaungkan Mak Itam, kalau sudah berdebat, jagan pernah coba-coba untuk dipisahkan, Mak itam bisa murka, dia harus menang, pantang untuk kalah.

Mak Itam kerap meninggi-ninggikan dirinya di hapadapan penduduk desa, padahal, mereka pun sudah tahu siapa Mak Itam, beberapa penduduk desa berceloteh, mengacungkan jempol, dengan berkata, "Hebat Mak Itam," tapi sisanya, diam saja, malas menanggapi, malas juga berkomentar.

Memang serba salah, Mak Itam itu pemuka adat di desa ini, dia lah yang mengajak penduduk desa mengukir kata-kata di atas kalam, dia juga yang membesarkan nama desa ini, sehingga petinggi-petinggi kalam itu sudi untuk singgah di desa ini, banyak juga jasanya Mak Itam, perangainya saja yang membuat jengah.

Mak Itam pun sering sekali membagi-bagikan lembaran-lembaran berwarna merah dan biru bagi penduduk desa, maupun masyarakat di luar desa, alasannya, karena kata-kata di atas kalam itu sangat indah, alasan itu pula yang membuat nama Mak Itam membumbung tinggi di desa ini dan desa seberang.

"Aku ingin pergi, Mak Itam!"

"Hendak kemana kau, Bahri?" Mata Mak Itam murka, dia menatap Bahri dengan penuh amarah.

Bahri tidak memedulikan bola mata Mak Itam yang mengeluarkan urat yang berwarna merah itu, dia langkahkan kakinya menjauh dari Mak Itam, Bahri pun tak tahu hendak kemana kakinya akan dilangkahkan, dia hanya berfikir untuk singgah di desa yang lain, desa impiannya, tanpa keangkuhan dari pemuka adat.

***

Bertahun-tahun lamanya, tak ada kabar tentang Bahri di telinga Mak Itam, hingga suatu ketika, takdir mempertemukan mereka, Bahri kini sudah menjadi pemuka adat, sama seperti Mak Itam saat itu, dia pun senang berceloteh di desa yang telah disinggahinya bertahun-tahun itu, "Hei... Bahri, sudah pandai berkhotbah kau nampaknya."

"Ya, tentunya berbeda dengan Mak Itam, aku tidak angkuh!"

"Pernahkah kau bertanya pada pengikut kau itu, Bahri?" Bahri terdiam mendengar pertanyaan dari Mak Itam, pandangannya tiba-tiba saja sama seperti dulu ketika Mak Itam menanyakan tentang kata-kata di dalam kalam yang membuat Bahri sering terjatuh, terpelanting dan terjerembab, Mak Itam menyuruh Bahri untuk meninggalkan kata-kata dalam kalam itu, tak usah lagi bercengkrama dengannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun