"Tinggalkan saja, apa susahnya?"
"Bukan susah, tapi tak mungkin." Bahari membuang tatapannya, jauh, jauh sekali dan memang sangat jauh, seolah mencoba melarikan diri dari kerumitan dunia yang melingkupinya. Matanya yang terbuka lebar, menyiratkan kebingungan yang mendalam, bak petir yang menyambar dan menggelegar di tengah hari.
Di sudut-sudut kelopak mata Bahari, terpahat guratan perjalanan panjang, langkah yang membelah hamparan gurun kehidupan, mencari puncak-puncak kejayaan, melalui lembah-lembah kegagalan.
Bahari, laki-laki dengan senyum yang terpatri manis di bibirnya itu, telah menjelajahi hutan belantara pikiran dan samudra emosi. Ia telah merasakan getaran kebahagiaan yang mengalir deras seperti sungai, dia juga pernah mencicipi kepahitan kekecewaan yang menusuk seperti duri di tenggorokan.
Mungkin, di balik tatapan jauh Bahari, tersembunyi harapan yang membara, sebuah harapan akan cahaya yang menyinari jalan yang kelam dari keangkuhan, harapan akan cinta yang dapat menyelimuti hati yang lelah, dan harapan akan makna yang dapat menyatukan potongan-potongan teka-teki kehidupan yang telah terserak karena angkuh.
 "Nampak jauh tatapan kau itu, Bahari!" Kalimat yang meluncur dari mulut Mak Itam itu membuat Bahari terperanjat, Bahri kuatir Mak Itam mengetahui isi pikirannya, Bahri tahu, Mak Itam itu dahulu pernah belajar ilmu sakti dengan Tuangku Koto, pernah juga dia berkelahi dengan Harimau di hutan, begitulah kabar burung yang berhembus di desa ini.
Bahri tidak lagi pandai berkata-kata, hanya sorot matanya saja seperti hendak mencongkel biji mata Mak Itam, Bahri nampaknya ingin masuk kedalam pikiran Mak Itam melalu tatapan matanya itu. Mana mungkin kau mampu mengiris pikiran Mak Itam hanya dengan tatapan itu, kau anak baru kemarin sore, sementara Mak Itam, sudah habis kitab-kitab itu dimakannya, dai juga pandai berkhotbah.
"Oi.. kenapa kau menatapku seperti itu, Bahri?"
"Anu... mmm... anu, mmm... tak ada, Mak Itam," ucap Bahri gelagapan.
"Oh, masalah kau bukan bukan dengan dia, tapi denganku, benar begitu, Bahri?" tegas Mak Itam. Sorot mata Mak Itam semakin tajam mengiris hati Bahri, biji bola mata Mak Itam membuat ciut hati Bahri. "Tak senang kau denganku, Bahri?"
Bahri bingung, entah bagaimana lagi caranya memutar otak untuk bisa menyampaikan isi pikirannya, dia kehabisan akal, sebenarnya bukan dia tidak senang dengan Mak Itam, dia hanya tidak suka dengan khotbah-khotbah Mak Itam, dia merasa Mak Itam terlalu angkuh, padahal, di desa ini pun ada banyak orang-orang yang lebih pandai dari Mak Itam, sayangnya mereka hanya diam saja, tak mau berdebat dengan Mak Itam, sekolah mereka pun lebih tinggi, mereka sering sekali bertukar pikiran dengan orang-orang Belanda, sementara Mak Itam hanya membaca kitab-kitab yang telah di sadur ke dalam bahasa Melayu.