Pertanyaan, apakah mungkin peran mereka perlu diperluas dari konteks kerja sama untuk memperjelas hubungan iman dan kehidupan bermasyarakat?
Dalam hal ini, saya lebih tertarik dengan pola yang ada di tubuh TNI.Â
Di sana ada pendamping rohani yang melayani dan mendampingi mereka secara spiritual, ya tentu terkait kehidupan iman, budi pekerti, hati dan tanggung jawab batin mereka.
Mengapa hal baik seperti itu tidak juga dipakai dalam konteks di desa-desa?Â
Singkatnya pemerintah perlu memberanikan diri untuk membuka hubungan baru dengan pihak lain yang punya otoritas dalam hal tata batin.
Berbicara tentang pertanggungjawaban keuangan, tentu terkait dengan hati manusia.Â
Korupsi bisa saja karena hilangnya hati yang peduli pada penderitaan dan keadilan sosial.
Katakan saja, di setiap wilayah kecamatan, perlu ada seorang tenaga spiritual yang punya tugas resmi dalam konteks kerja sama dengan pemerintah sebagai pendamping rohani untuk semua kepala desa.
Dari tugas itu, sudah pasti ada kegiatan-kegiatan yang bercorak budi pekerti, evaluasi, dan pembinaan-pembinaan lainnya sesuai konteks masing-masing.Â
Pertanyaannya, beranikah pemerintah kita membuka hubungan baru dengan sistem kerja seperti itu?
Tujuannya adalah agar keselarasan kehidupan iman dan praksis sosial itu menjadi nyata. Dan tidak lagi harus katakan, "urusan agama itu lain, dan urusan pemerintah itu beda-beda, tidak boleh lurus-lurus saja."