Selalu ada.
Rasa rindu menyesaki dada.
Di manakah keberadaanmu, Belahan Jiwa sahabat perjalananku?
Kuharap kau di sampingku saat ini.
Menyaksikan peristiwa yang sedang terjadi.
*
Puisi berbahasa Jawa di atas, adalah karya Bu Gesti -- penjual nasi gudeg langganan sekompleks rumah. Dia membacakannya begitu saja di saat lapaknya sudah sepi pengunjung, karena di pasar itu orang-orang berjualan dan berkunjung sampai pukul sepuluh pagi. Â
Puisinya itu disimpannya sangat rapi di lubuk hatinya yang terdalam. Baru sekali ini dia mengeluarkannya dalam pembacaan di hadapan saya, sebagai pendengar kisah pribadinya. Ini bagian lanjutan dari kisah kunjungan saya ke lapak Bu Gesti beberapa hari lalu, yang membuat saya membagi puisinya, dalam tulisan berjudul Gelisah
Bu Gesti menyebut puisi berbahasa Jawa di atas sebagai geguritan. Istilah "geguritan" ternyata sudah masuk dalam daftar kata di KBBI edisi ke-5 (terkini).
[gurit ge.gu.rit.an nomina (kata benda) -> n puisi tradisional dalam bahasa Bali atau Jawa]
Dalam puisi Tansah Ana, Bu Gesti merasakan rindu mendalam karena suaminya sudah meninggalkannya empat tahun lalu setelah berbulan-bulan lamanya mengidap sakit kanker tulang. Saat puisi itu terjelma, dia berharap bahwa suaminya hadir menyaksikan sebuah momen penting hidupnya, yaitu pernikahan putri bungsunya, putri kesayangan mereka berdua.Â
Lagi-lagi, saya tidak menyangka bahwa seorang ibu bersahaja, memiliki kehalusan rasa yang membuahkan puisi indah, sebuah karya yang bahkan tertumpuk dalam rutinitasnya memasak lauk-pauk dan sayur pelengkap nasi gudegnya.
Demikian catatan sepenggal kehidupan Bu Gesti. Salam puisi | Indria Salim |