Mohon tunggu...
Irenna M
Irenna M Mohon Tunggu... human

master none

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suwung

21 Desember 2022   19:17 Diperbarui: 21 Desember 2022   19:43 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tinggal di neraka. Terkukung pada sepetak kamar yang lebih pantas disebut kandang. Sisi tembok kamar ini kokoh dan menjulang tinggi. Sulit untuk aku bisa keluar dari sini. Tempat ini sangat teperpencil, jauh dari kehidupan kebanyakan orang.  Mereka harus melewati lorong panjang dan gelap untuk bisa berkunjung kemari. Tidak banyak yang bisa kulakukan di sini selain menatap kosong ke arah dinding-dinding kusam.


Mereka memasang sebuah kamera di atas pintu. Bentuknya kecil dan berkedip-kedip merah. Kamera itu akan terhubung pada ruang pengendali. Di sana akan ada orang yang bergilir mengawasiku sepanjang waktu. Pergerakanku yang terbatas, makin terbatas. Siapa yang sanggup selalu di awasi begini?


Sejujurnya aku tidak benar-benar sendiri. Setiap hari akan ada empat petugas yang datang kemari. Mereka berempat berbagi tugas. Ada yang menyuapiku makan, membersihkan tubuh, sampai membesihkan hajatku. Mereka dengan telaten melakukannya. Kemudian setelah kepergian mereka, hatiku kembali kosong. Aku terus mencari sesuatu yang hilang, dan berusaha mengingat banyak hal. Mengutuk diriku sendiri, atas segala perbuatan yang kulakukan.


Tubuhku kembali meringkuk di atas papan kertas. Dua tanganku di borgol. Kakiku yang kurus seperti batang pohon harus terkekang oleh sebilah pasung yang terbuat dari logam berat. Uang, kekuasaan, dan prasangka, melemparku pada nyala api yang siap membakar habis setiap jengkal akal sehatku. Terkukung pada kekosongan, karena aku telah kehilangan banyak hal.

***

Selain kemiskinan, ayah mewarisiku sifat pantang menyerah. Aku adalah manusia yang punya mimpi besar. Terlahir miskin, tidak lantas membuatku pasrah pada takdir. Aku memiliki keyakinan besar jika suatu saat nanti bisa menghapus garis kemiskinan yang diturunkan oleh leluhurku.


Jika banyak anak kecil yang menghabiskan waktu dengan bermain bersama teman-teman, aku lebih banyak menghabiskan waktu membantu ayah di ladang milik orang. Hal itu membuatku menjadi orang yang menghargai uang. Cari uang tuh susahnya setengah mati! Bisa dibilang aku dewasa sebelum waktunya. Apalagi setelah lulus SMP, ayah sudah mulai sakit-sakitan. Karena kondisinya, ayah sudah tidak lagi bekerja di ladang. Ia berganti profesi menjadi  penjual sayur di pasar. Namun, tidak semua usaha berjalan dengan lancar. Awal berjualan, dagangan ayah selalu sepi karena para pembeli sudah memiliki pelanggannya masing-masing. Alih-alih dapat untung, malah lebih banyak ruginya di awal merintis usaha.


Melihat kondisi usaha ayah, membuatku berpikir keras. Aku mengupayakan apa saja yang aku bisa lakukan. Di usiaku yang masih belasan tahun saat itu, aku sudah memikirkan berbagai macam kerja serabutan yang dapat aku kerjakan. Mulai dari tukang semir sepatu sampai jadi calo tiket kereta api. Hampir semua profesi sudah kulakukan.


Setelah aku lulus SMA, ayah meninggal dunia. Meninggalkan aku, ibu, serta dua adik laki-laki yang masih kecil. Sebagai anak sulung, sudah seharusnya aku menggantikan posisi ayah sebagai kepala keluarga. Besar tanggung jawab itu, membuat pundakku makin berat, makin erat.


Suatu hari, ada pendatang baru dari Jakarta. Namanya Pak Agus. Usianya 62 tahun. Ia merupakan pensiunan petinggi salah satu bank swasta.

Menghabiskan masa tua di desa adalah impiannya sejak dulu. Tidak alasan pasti. Pak Agus ingin merasakan ketenangan di sini. Pak Agus tinggal sebatang kara. Empat tahun sebelum pensiun, Istrinya meninggal dunia. Dan ternyata, pernikahan keduanya pun tidak dikaruniai keturunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun