Anak-anak yang seharusnya menghargai berbagai suku sejak sabang sampai Merauke dan berbagai keyakinan dari pulai Rote sampai Miangas, tidak lagi besikap seperti itu (menghargai).Â
Bahkan mereka seakan dijauhkan satu sama lain sehingga dibiarkan tidak saling kenal, tidak saling paham, dengan begitu begitu berbagai narasi dipercikkan maka akan sering terjadi saling benci bahkan dibawa sampai mereka dewasa.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejatinya radikalisme sudah masuk sejak lama dalam ranah Pendidikan kita, dan dimulai dari intoleransi (menolak hormat pada bendera, tidak sudi menyanyikan indoensia raya, membenci murid lain yang beragama berbeda dll).Â
Yang paling tragis adalah intoleransi bahkan radikalisme ini bukan hanya diinternalisasi para siswa tapi juga para pengasuh sekolah (guru, guru BP, kepala sekolah dan perangkatnya).Â
Fakta terbaru adalah : beberapa siswi di SMA Negeri 1 Bantul Yogya dipaksa pihak sekolah (dalam hal ini guru BP) untuk mengenakan jilbab. Padahal sekolah ini adalah sekolah negeri dan bukan sekolah agama.
Kita seharusnya tidak mengelak kenyataan pahit dan memalukan ini. Institusi Pendidikan seperti sekolah mulai dari TK, SD, SMP dan Universitas seharusnya mampu membentuk pribadi anak yang baik dan prespektif kebangsaan yang baik pula. Bukan malah sebaliknya. Pribadi dan prespektif kebangsaan yang baik akan membawa bangsa dan negara kita baik pula.
Dengan begitu kita tidak akan bertemu lagi dengan peristiwa dua orang yang akan menyerang polisi di Mako Brimob atau sekolah yang memaksakan anak didiknya memakai jilbab.