Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Foto Dinding

4 Maret 2024   09:23 Diperbarui: 4 Maret 2024   21:58 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Badai Keheningan (lukisan Wara Anindyah)/Foto: Hermard

"Tante boleh menikah dengan ayah, tetapi tidak boleh mengubah susunan barang-barang di rumah. Apalagi melepas foto-foto ibu yang ada di dinding," jelas Tari serius saat Mas Panggah mengajaknya mampir ke rumah keluarganya di Jalan Sawo Kecik.

Ketika itu, Salindri menjawab ringan, "Iya, tante tidak akan menggeser satu barang pun, apalagi melepas foto-foto yang menempel di dinding."

**

Kini Salindri menyesali kesanggupan yang pernah diucapkannya kepada Tari, putri Mas Panggah satu-satunya.

Tari lahir dua puluh dua tahun lalu dari pernikahan Mas Panggah dengan Widowati. Tiga tahun silam Widowati mengalami serangan jantung mendadak  setelah berziarah ke makam keluarga. 

Sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi Tuhan berkehendak lain, perempuan pekerja di kantor pemerintahan sekaligus pengusaha catering itu terlambat mendapat penanganan dokter dan menutup mata untuk selama-lamanya.

Panggah, pensiunan kantor pemerintah, menerima takdir sebagai duda. Setelah seribu hari lebih sepeninggal Widowati,  pihak keluarga menyarankan agar ia menikah lagi. 

Panggah berkali-kali menggelengkan kepala karena toh peran Widowati sudah digantikan Tari yang setiap hari mengurus dirinya, membuatkan teh, menyiapkan makan, membersihkan rumah. Kebersamaan itu terus berlanjut saat Tari sudah bekerja, bahkan menikah dan punya bayi mungil. 

Tari tetap tinggal di rumah orang tuanya karena suaminya bekerja di luar kota dan pulang setiap seminggu sekali. Panggah memang meminta anak dan menantunya tetap serumah dengannya, menemani.

Alasan lainnya ia belum mau menikah lagi karena faktor usia dan ia masih belum mendapat jawaban Tuhan lewat tahajudnya agar diberi jodoh terbaik atas ridho-Nya.

Bagi Salindri, sosok Panggah bukanlah lelaki asing. Mereka dulu satu SMA dan pernah dekat. Saat itu Panggah kelas tiga, sedangkan Salindri kelas satu. 

Entah mengapa akhirnya Salindri bertahan dalam kesendirian sampai usianya setengah abad lebih. Apakah benar karena ditinggal Panggah bekerja di luar pulau dan kemudian menikahi Wedowati? Tak ada seorang pun yang tahu, termasuk keluarga dan teman-teman Salindri.

**

Satu sampai lima bulan, Salindri nyaman-nyaman saja tinggal bersama suami dan Tari di rumah  Jalan Sawo Kecik. Tapi memasuki bulan ke enam, saat Tari melahirkan dan ia tinggal sendirian malam hari di rumah karena  Mas Panggah masih menjaga Tari di rumah sakit, Salindri merasa tidak nyaman. 

Ketika dari dapur  hendak kembali ke kamar depan, entah mengapa tiba-tiba perasaannya kurang enak, bulu kuduknya meremang, seakan-akan ada sorot mata yang memandanginya. 

Ia ingin bergegas melintasi ruang tengah, tapi kakinya terasa berat. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, tidak ada siapa-siapa. Hanya ada deretan foto Wedowati. 

Dengan gemetaran akhirnya sampai juga ia ke kamar dan langsung mengunci pintu dari dalam. Ketakutannya menyebabkan ia tak bisa tidur.

"Mas, cepat pulang, aku ketakutan," tulis Salindri lewat pesan WhatsApp.

**

Seminggu kemudian peristiwa itu terulang kembali.

Lepas magrib Mas Panggah  ke masjid rapat bersama takmir. Tari menemui Bu RT di teras depan. Ia diminta Tari menemani Bagas, bayi mungil, yang tidur pulas di kamar belakang. 

Di ruang berukuran empat kali tiga meter, Salindri memandangi cucunya. Ia mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Memperhatikan tubuh gemuk Bagas. Matanya bundar dan hidungnya mancung. Sungguh menggemaskan. 

Salindri tersenyum sendiri. Saat tangannya hendak mengelus Bagas, tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak. Persis seperti minggu lalu, bulu kuduknya meremang, dan ia merasa  seperti ada orang  mengawasinya. 

Ia melepaskan pandangan mengitari kamar. Tidak ada siapa-siapa. Jantungnya berdebar kencang saat matanya tanpa sengaja tertuju pada foto-foto Wedowati  yang tergantung di dinding sebelah kanan meja rias. 

Ada tiga foto Wedowati berjajar rapi di dalam pigura kayu cokelat berukuran cukup besar. Di atasnya ada foto Mas Panggah, Wedowari, dan Tari.

Semakin lama memandangi foto Wedowati, sorot mata mendiang itu menghujam tajam memandang balik Salindri. Sebenarnya Salindri ingin segera memalingkan wajahnya, tapi entah mengapa lehernya  kaku,  kepalanya tidak bisa digerakan. 

Lama mata keduanya saling bertatapan. Wedowati tersenyum sinis. Salindri merasakan ketakutan menyelinap saat matanya terpaku pada foto-foto di dinding yang seakan hidup. Sorot matanya mengancam menyulut gelisah, menciptakan cemas berkepanjangan, dan kengerian mendalam merayap di setiap detak jantungnya.

Tangis Bagas megembalikan kesadarannya. Spontan ia meraih bayi mungil itu, menggendongnya, bergegas meninggalkan kamar Tari.

Saat melewati ruangan tengah, Salindri  kian pucat pasi, foto-foto Wedowati yang tergantung di dinding sepanjang lorong seakan-akan mengejar dengan sorot mata tajam, mengikutinya.

Mendengar tangis Bagas dan langkah kaki terburu-buru, Tari masuk.

"Ada apa Bu, kok wajah ibu pucat dan jalan tergesa-gesa?" tanya Tari heran.

Tak sepatah kata pun terucap dari mulut Salindri. Ia menyerahkan Bagas,  bergegas masuk kamar, merebahkan badan ke kasur. Wajahnya terbenam ke bantal, air matanya mengalir.

Bayangan ketakutan melintas di matanya seperti badai, mencerminkan teror dari foto-foto yang seakan hidup. Pikirannya dihantui oleh bayangan menakutkan.

**

"Aku menyayangi mereka semua. Tidak ada niatku menyakiti Mas Panggah, Tari, dan Bagas. Aku juga tidak berniat merebut Mas Panggah darimu," jelas Salindri.

"Kamu pembohong!"

"Tidak, aku mencintai keluarga Mas Panggah dengan sepenuh hati!"

"Tapi kau tidak mencintaiku!" jawab Wedowati meninggi.

"Aku sayang semuanya!"

"Bohong!"

"Sungguh!"

"Nyatanya engkau tak pernah sekali pun mengunjungiku."

"Tapi..."

"Buktinya engkau tak pernah berdoa di nisanku!"

"Tapi..."

"Iya kan?"

"Tapi..."

Dalam kepanikannya memberikan alasan, Salindri merasakan ada tangan yang menggoyang-goyangkan pundaknya.

"Ndri, bangun Ndri. Kamu ngigau, ngomong sendiri. Ayo bangun," samar Salindri mendengar suara suaminya...(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun