Mohon tunggu...
Literasi Kata
Literasi Kata Mohon Tunggu... Bukan Terikat

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lukisan yang Tak Pernah Selesai

24 Februari 2025   21:42 Diperbarui: 24 Februari 2025   21:42 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh  

Muhammad Wafi Fahrian

Semburat merah pucat merobek langit yang kelabu dibekap mendung. Pada ujung-ujung ranting, desau angin menyapih dalam wartanya tentang lara. Kepada jiwa-jiwa yang dirundung rindu. Kepada setiap hati dengan jengkal kasih yang tak sampai. Kepada asmara yang senyumnya tersemai duka. Dari bilik galeri kecilnya; dengan berteman pada bayang kenang, Wafi menatap kanvas di tangannya.

 Sejak tadi jemarinya berlumuran cat. Hasil lukisan itu berantakan, seperti jiwanya yang tercerai-berai oleh kepergian Sang Kekasih. Biru dan hitam mendominasi latar belakang, mencerminkan kehampaan yang merayap dalam dadanya. Ada jingga di sisi tubuh yang ia coba lukis, tapi warnanya memudar, seperti cahayanya yang redup terkikis angan dan tali temali asmara yang putus oleh irisan takdir.

Sebelum pergi meninggalkan selamanya, Sang Kekasih pernah berkata, "Kalau aku pergi lebih dulu, lukislah aku. Tapi jangan jadikan aku terlalu nyata, biarkan aku tetap menjadi mimpi."

Faktanya sekarang bagaimana? Wafi meremat kuas. Giginya bergemeretak menahan sesak. Semua panas turun melelehi pipinya oleh cairan pecundang. Tangisan? Bukan untuk seorang lelaki macamnya. Namun ini terlalu mengoyak dan memporak-porandakannya. Kenyataan pahit yang begitu sulit sirna. Sekeras apa pun Wafi mencoba, tangannya terlalu kaku untuk terangkat. 

Tinggal satu goresan pada bagian matanya. Namun benar-benar berat bagai berton-ton batu ia pikul. Mata itu memaku kalbu. Seperti tempo saat nyata. Antara waktu yang diberikan semesta kepada dirinya dan Sang Kekasih. Keberpihakan cinta masih memeluk mereka dalam peraduan mata. Tatapan Sang Kekasih itu teduh hidup. Semua berarti bagai candu surga dalam rumah asmara. 

Sial! hardik Wafi geram.

Kini tatapan mata itu menghukumnya. Membuat Wafi tersungkur dalam sesal dan dosa. Kuas terlepas. Dirinya menggigil tercabik kenangan dalam siratan mata perempuan itu. Seperti ada batas tak kasat mata yang menghalanginya, seakan Tuhan sendiri tak mengizinkan Wafi mengabadikan sosok itu sepenuhnya.

Hari itu, si perempuan yang dicintai wafi  pergi tanpa pesan dab tanpa  berpamitan. Dalam gempuran hujan;  manakala perjalanan yang telah terencanakan menjadi sebuah tindakan,  mobil yang ditumpangi perempuan itu mengalami tabrakan hebat dengan sebuah truk besar.  Wafi masih ingat betapa ia berlari ke rumah sakit dengan napas tersengal hanya untuk menemukan tubuh yang tak lagi bernyawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun