Mohon tunggu...
Darwanto
Darwanto Mohon Tunggu... Freelancer - Pria manula, purnabakti PNS

Mencari, membagi, mensyukuri...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Transparansi Data Kematian Covid-19

13 Mei 2020   08:32 Diperbarui: 13 Mei 2020   08:25 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak orang yang tidak percaya tentang kebenaran data yang disampaikan setiap hari oleh Gugus Tugas Covid-19 melalui Juru Bicaranya.  Disebutkan bahwa jumlah kasus positif dan jumlah orang yang meninggal jauh lebih besar dari angka-angka yang disebutkan.


Lebih lanjut dikatakan bahwa Pemerintah telah berbohong kepada rakyat tentang korban Covid-19 untuk menutupi ketidakmampuannya mengatasi pandemi.

Pernyataan yang terakhir ini berbau politik, namun pernyataan yang pertama memang ada benarnya.

Perbedaan data yang disampaikan Pemerintah (baca: Kementerian Kesehatan) dengan kenyataan di lapangan, khususnya yang terkait dengan jumlah orang yang meninggal, adalah karena Pemerintah tidak memasukkan orang yang meninggal selain dari orang yang dinyatakan positif terkena virus korona.

Jadi mereka yang berstatus PDP (pasien dalam pengawasan) atau ODP (orang dalam pemantauan) yang meninggal tidak akan dimasukkan dalam angka kematian yang disampaikan setiap hari oleh Jubir Pemerintah selama tidak ada keterangan positif terinfeksi Covid-19. Bisa jadi meninggalnya karena penyakit lain, demikian pertimbangannya.

Mungkin PDP yang meninggal namun hasil tesnya yang positif diketahui setelah orang tadi meninggal tidak tercatat juga sebagai orang yang meninggal karena Covid-19.

Selain itu, Pemerintah juga tidak memasukkan orang yang terinfeksi virus korona tetapi meninggal di rumahnya, karena keterbatasan informasi.

Sehingga secara keseluruhan, jumlah orang yang meninggal karena Covid-19 ini sebenarnya lebih banyak dari jumlah kematian yang diumumkan.

***

Untuk memperkirakan jumlah orang yang meninggal karena Covid-19 sebetulnya tidak sulit. Cukup dibandingkan antara jumlah orang yang meninggal pada tahun lalu di suatu daerah, misalnya di DKI Jakarta, lalu dibagi 12. Dari sini diperoleh jumlah kematian rata-rata per bulan dalam situasi normal di daerah itu.

Angka itu kemudian dibandingkan dengan jumlah kematian pada bulan saat terjadinya wabah. Perbedaan dua data inilah yang dapat dianggap sebagai kematian karena Covid-19.

Misalnya kematian rata-rata per bulan di DKI Jakarta tahun 2019 sebanyak 2.000 orang, dan jumlah orang meninggal pada Maret 2020 (saat terjadi wabah) sebanyak 2.100 orang. Maka jumlah orang yang meninggal dunia di DKI Jakarta karena wabah pada bulan itu adalah 100 orang.

Memang perkiraan tadi masih kasar, karena data penduduk yang meninggal dunia tidak tercatat setiap saat di kantor statistik daerah. Untuk itu bisa digunakan data orang yang dimakamkan di semua TPU di daerah itu pada bulan yang dihitung, yang datanya pasti ada.

Juga ada orang-orang yang meninggal di suatu daerah tetapi dimakamkan di luar daerah itu. Maka perlu ada koreksi terhadap data awal.

Koreksi juga perlu dilakukan mengingat jumlah penduduk selalu bertambah karena kelahiran dan migrasi, sehingga jumlah orang yang meninggal juga bertambah setiap tahun.

Menggunakan cara ini, dapat diketahui bahwa angka kematian karena Covid-19 di seluruh daerah lebih besar dari angka kematian yang dilaporkan oleh Jubir Pemerintah setiap hari.

Angka inilah yang diharapkan diumumkan oleh pemerintah, bukan hanya jumlah orang yang dites positif dan meninggal. Inilah yang menjadi dasar dari tuduhan bahwa pemerintah tidak menyampaikan data yang sebenarnya.

***

Apakah pemerintah berbohong? Sebetulnya tidak, karena Juru Bicara pemerintah sendiri berulang kali menyebutkan bahwa hanya mereka yang sudah dites dengan hasil positif dan telah meninggal saja yang dimasukkan dalam data kematian.

Hanya saja tidak ditambahkan penjelasan bahwa di luar data yang disampaikan itu ada kematian karena Covid-19 yang tidak diperhitungkan.

Presiden sendiri telah meminta agar bawahannya menyampaikan data secara apa adanya dan transparan. Namun agaknya hal itu sulit dilakukan.

Hal ini juga dapat dimengerti karena Gugus Tugas Covid -19 harus melaporkan perkembangan korban setiap hari, berdasar data dari pemda seluruh Indonesia, sementara estimasi berdasar metoda perbandingan dengan kematian pada kondisi tidak ada wabah tidak bisa dilakukan setiap hari.

Pemerintah tentunya tidak bisa melaporkan angka kematian atas dasar perkiraan, namun harus berdasar bukti yang konkrit.

Berbeda dengan negara maju, dimana informasi tentang penduduk yang meninggal karena Covid-19 tersedia secara real time. Itulah sebabnya negara-negara maju dapat mempublikasikan data kematian karena Covid-19 secara apa adanya.

***

Dalam keadaan keterbatasan informasi, maka apa yang dilakukan pemerintah itu sudah benar. Namun alangkah baiknya pemerintah (pusat dan pemda) mengakui kekhususan perhitungannya, yang berbeda dengan perkiraan umum, yang atas dasar banyaknya orang yang dimakamkan setiap hari.

Kemudian pemerintah juga perlu membuat estimasi kematian karena Covid-19 sebaik mungkin dan disampaikan secara terbuka. Saya yakin, kita tidak kekurangan ahli demografi yang dapat menghitung jumlah kematian karena Covid-19 mendekati data riil.

Dengan demikian kepercayaan publik terhadap pemerintah tidak akan tergerus, bukan karena ketidakmampuan, melainkan karena ketidaklengkapan informasi yang disampaikan.

Karena media massa dan pelaku media sosial gemar menggoreng informasi yang samar-samar, maka pemerintah perlu sering berbicara secara apa adanya, termasuk mengakui kekurangan dan keterbatasannya. <>

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun