Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Indonesia Teledor Belajar Pemilu Pasca Orde Baru

29 Juli 2022   18:09 Diperbarui: 1 Agustus 2022   21:00 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa korupsi? 

Karena biaya politik sangat tinggi, mulai dari penjaringan sampai pelantikan pejabat terpilih, semua pakai fulus. Ahirnya rakyat terjangkit, menunggu serangan fajar.

Baca juga: Parliamentary Threshold: Ambang Batas Parlemen dalam Pemilu di Indonesia

Coba perhatikan sekarang menuju Pilpres 2024, bukankah para Parpol stres mencari koalisi untuk memajukan para jagoannya.

Apa arti sebuah Parpol tidak mengusung kadernya sendiri? Bukankah bisa disebut para anggota Parpol itu gagal berpartai kalau di dalam internalnya sendiri, tidak bisa mencetak kader.

Kalau ada kader yang berbobot, seperti Ganjar Pranowo kader PDI-P. Diprediksi bakal kandas di partainya sendiri, karena terhalang subyektif oleh rasa, terbaca Ketua Umum PDI-P Megawati ingin Capreskan puterinya Puan Maharani, Ketua DPR RI. [4]


Baca juga: Mengulik Kontradiktif Keinginan PDI-P dan NasDem di Pilpres 2024

Parpol yang banyak jumlahnya, sebenarnya bukan mengejar atau mewakili aspirasi masyarakat. Tapi itu hanya mewakili ambisi para politikus sendiri, masyarakat hanya jadi obyek dan bukan subyek.

Singkat kata, Indonesia harus merevisi UU. Pemilu dan UU. Partai Politik, agar bisa meminimalisir Parpol. Untuk lebih mempermudah pemilih dan efisiensi biaya, terlebih akan menjadikan Pemilu cerdas dan berkualitas.

Parpol ke depan maksimal lima Parpol dan idealnya kembali saja menjadi tiga parpol sebagaimana masa Orde Baru, untuk mengejar dan mencapai kualitas Pemilu, Pilkada dan Pilpres.

Biar Indonesia lebih cerdas berdemokrasi, setop ikuti syahwat materi dan kekuasaan para elit-elit politikus yang gonta-ganti partai atau mendirikan partai, lalu mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun