Tidak ada yang benar-benar tahu sejak kapan langit berubah menjadi kaca patri muram yang tak lagi mencerminkan langit biru, tetapi lebih menyerupai kelopak mata dewa tua yang letih. Di kota itu, yang tidak punya nama, karena semua nama telah diganti dengan kode dan iklan, manusia hidup tanpa arah, hanya berdetak sesuai ritme jam digital dan keinginan algoritma.
Kekerasan bukan lagi berita; itu hiburan. Kejujuran hanya nostalgia. Anak-anak lahir tanpa nama, hanya QR code di pergelangan tangan mereka. Dan di tengah kota yang memantulkan cahaya layar, seorang pria bernama Nuh membeli sebidang lahan kosong di antara gedung pencakar langit.
Ia berkata, "Di sini akan kubangun kapal."
Mereka tertawa. Bagaimana mungkin seseorang membangun kapal di tengah kota tanpa laut, tanpa hujan, tanpa otorisasi dari Departemen Fungsi Logis?
Tapi Nuh tidak menjawab. Ia datang setiap hari dengan topi jerami dan kemeja linen, membawa palu, paku, dan kayu tua yang katanya berasal dari hutan yang telah ditebang ratusan tahun lalu.
Orang-orang lewat, memotret, mengunggah:
"Seniman gila sedang membuat kapal untuk banjir yang tak pernah datang."
"Proyek seni distopia!"
"Meme hari ini: #BahteraTanpaAlamat."
Namun Nuh tidak peduli. Ia hanya tersenyum samar, seperti orang yang sedang mendengarkan sesuatu yang tidak kita dengar, suara tua, dalam, dan jauh. Suara yang memanggil dari luar sistem.
Pada suatu malam yang sangat sunyi, ketika semua sinyal mendadak padam dan bulan terbalik seperti mangkuk kosong, suara itu datang lagi:
"Segala yang hidup telah kehilangan nadinya. Buatlah ruang yang dapat menampung sisa denyut yang masih murni."