Nuh membangun terus. Ia membuat ruang-ruang kecil dalam kapal itu, bukan hanya untuk binatang, tapi untuk puisi, untuk ingatan, untuk bibit tanaman, dan bagi segala sesuatu yang dunia telah lelah menyimpan.
Ia menaruh satu jam matahari, satu lonceng sekolah tua, satu lukisan anak kecil dari kamp pengungsian, dan satu buku yang hanya berisi satu kata: "Kasih."
Dan suatu hari, ketika jalan-jalan mendadak jadi sungai dan lampu lalu lintas menyala hijau ke arah langit, orang-orang yang mencemooh mulai berlari. Tapi hanya mereka yang pernah duduk diam dan mendengar bisikan lembut dalam hati mereka yang tahu di mana letak pintu kapal.
Pintu itu hanya bisa dilihat oleh yang mengingat suara asal mereka.
Ketika pintu tertutup, langit pecah. Tapi suara tangis tidak terdengar, hanya keheningan yang dalam. Dunia seolah dilipat seperti kertas origami, dan kapal itu melayang bukan di atas air, tapi di antara dimensi. Ia melintasi bukan lautan, tapi waktu dan kemungkinan.
Di dalamnya, Nuh duduk tenang, memeluk seekor burung kecil yang tak bisa terbang. Anak-anaknya bermain dengan binatang yang tidak disebut dalam kamus. Dan istrinya menyanyikan lagu yang belum pernah ditulis, tapi setiap orang tahu nadanya.
Di luar, dunia dihanyutkan bukan oleh air, tapi oleh lupa.
Dan di dalam, sesuatu yang sangat tua dan sangat baru, sedang bertunas.
Ketika kapal itu mendarat di punggung gunung sunyi dalam realitas yang lain, seekor burung putih dilepaskan. Ia tidak kembali. Dan itu pertanda, bahwa di tempat entah di mana, dunia bisa dimulai lagi.
Tapi kali ini, dengan ingatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI